Wednesday, January 4, 2017

Backpacker ke Kupang Part 2: Untung Gak Ketemu Buaya!

Sambil menunggu jam interview yang ternyata mundur jadi jam 16.00 sore, saya bertanya ke pegawai hotel tempat saya menginap tentang tempat wisata mana yang jaraknya tidak terlalu jauh dan mudah dicapai dengan transportasi umum.

"nona bisa pi pantai Lasiana sa" jawab pegawai penginapan yang akrab disapa Kak Emi.
"Ooooo...ke, saya kesana naik apa ya?"
"Kakak naik bemo sa dari depan" jawabnya sambil menunjuk jalan raya yang persis berada di depan jalan raya. "nanti bilang mau turun di cabang Pantai Lasiana"

Oh. Oke. Setopin bemo, bilang mau turun di pantai. Gampang ini mah


Setelah mengucapkan terima kasih, saya berdiri di pinggir jalan. Tidak sampai lima menit, sebuah bemo melintas lengkap dengan kernetnya yang umurnya paling baru 12 tahunan. Saya naik dan sengaja memilih tempat duduk yang dekat dengan si kernet. Ditengah hingar bingar musik yang keluar dari speaker soak di bagian belakang bemo, saya menepuk tangan si kernet yang lagi asik gelantungan dan berkata, "saya mau turun di cabang pantai Lasiana ya". Si kernet menoleh kemudian menatap saya dan menjawab, "baik kakak"

Satu persatu penumpang lain mulai turun, yang tersisa di dalam bemo tinggal saya sendiri sementara kanan kiri jalanan yang tadinya ramai dengan rumah penduduk mulai berganti dengan lahan-lahan kosong. Saya perhatikan si kernet dan si supir lirik-lirikan. Saya mulai panik keingetan adegan-adegan penculikan di pilem-pilem eksyen. Di tengah pikiran antara mau teriak apa mau nulis surat wasiat dulu, si kernet bertanya dengan suaranya yang bahkan belum akil baligh, "kakak nona mau turun dimana e?"

Lah. Bujug. Perasaan dari awal udah bilang mau turun di pantai. 

"saya mau turun di cabang Pantai Lasiana"
"OOOOO KAKAK MAU PI PANTAI? ITU SUDAH LEWAT JAUH KAKAK, KENAPA SONDE (*tidak) BILANG DARI TADI E??" pekik si supir kaget dengan logat timurnya yang khas.

Saya menghela nafas panjang.
Hhhh.. putriiii putriii.. kalo gak nyasar ya kebablasan turun.

Akhirnya, si abang yang mungkin kesian ngeliat saya, bersedia puter balik dan nurunin saya di tempat yang semestinya, cabang pantai Lasiana. Cabang ini maksudnya adalah pertigaan yang menuju ke arah pantai. Dari sini, saya harus berjalan kaki kurang lebih 15 menit untuk sampai ke Pantai Lasiana.

Setelah membayar tiket masuk sebesar dua ribu rupiah, saya mulai menyusuri pinggiran pantai. Kumpulan pohon palem dan kelapa tumbuh berderet memanjang di atas hamparan pasir putih yang luas dan lebar. Pantai Lasiana memiliki garis pantai yang lumayan panjang. Beberapa kapal nelayan tampak berjejer tertambat tidak jauh dari bibir pantai. Siang itu, meskipun cuaca agak mendung, namun pantulan biru tosca masih mendominasi warna air laut.

Tidak jauh dari tepi pantai, ada beberapa lopo yang berjejer. Lopo adalah istilah lokal untuk bangunan tradisional yang beratapkan palem. Lopo ini biasa menjual makanan dan minuman ke pengunjung yang datang ke Pantai Lasiana. Namun karena saya datang bukan di penghujung minggu, banyak lopo yang tutup pun tidak banyak orang yang saya temui disana, hanya ada beberapa penduduk lokal yang kebetulan melintas.




Puas menyusuri pinggiran pantai sebelah kanan, saya berjalan menuju ke arah timur pantai. Ada semacam muara sungai kecil yang harus dilewati. Untungnya siang itu, alirannya tidak terlalu deras sehingga masih bisa dilewati tanpa harus berbasah-basahan ria. Di pinggiran pantai sebelah timur ini lebih sepi daripada yang sebelumnya. Selama sesi keliling-keliling, hanya ada satu atau dua orang penduduk lokal yang melintas disini. Praktis saya menjadi satu-satunya pengunjung yang ada di pantai ini. Rasanya seperti Columbus yang baru mendarat pertama kali di daratan Amerika. Hahaha.

I FOUND A LAND, EVERYBODY. I FOUND A LAND!


Saya sedang asik bereksperimen dengan tripod yang saya pinjam dari adik semata wayang saat mendadak hujan turun dan cukup deras. Khawatir muara sungainya meluap dan sulit untuk dilewati, dengan tergesa-gesa saya mengambil tas yang sedari tadi tergeletak di pasir dan segera berlari manjauhi bibir pantai. Sambil berteduh, saya putuskan untuk tidak menunggu hujan reda dan bergegas pergi karena jam wawancara sudah dekat.

Begitu sampai di pintu keluar, sempat panik begitu inget kalau saya gak punya payung sementara untuk bisa sampai ke pinggir jalan raya dimana bemo-bemo biasa lewat, saya harus berjalan kaki cukup jauh. Bakalan gak lucu kalo nanti pertanyaan pertama yang keluar dari si pewawancara adalah, "kamu abis kecebur dimana?", maka atas dasar pertimbangan itu, muncul lah ide untuk hitchhiking. Saat itu kebetulan sebuah truk besar pengangkut pasir melintas dari arah pantai menuju pintu keluar. Tanpa pikir panjang, saya langsung bertanya ke supir truk, "bapak, boleh ikut sampai depan pertigaan?". Si bapak yang berkulit hitam mengangguk tanpa banyak bertanya dan kemudian menurunkan saya di pertigaan dimana saya bisa menaiki bemo untuk seterusnya menuju ke tempat wawancara berlangsung.

Beberapa waktu kemudian, saya bercerita ke teman kantor kalau saya sudah mengunjungi ikon wisata di Kota Kupang, si pantai Lasiana, "bagus ya kak pantainya, sepi lagi. Aku emang gak gitu suka dateng ke tempat wisata yang rame-rame gitu, makanya seneng banget datang ke Lasiana"
"Oiya? sama siapa kesana?"
"Sendirian kak"
"SENDIRIAN?!" pekiknya kaget.
Saya mengernyitkan dahi, "lah emang biasanya juga sendirian kan kemana-mana"
Dia geleng-geleng kepala, "kamu tau gak kenapa pantai Lasiana sepi?"
"Karena aku datengnya pas weekday"
"Ada lagi alesannya selain itu", katanya dengan tatapan serius, "disana banyak buaya muaranya, tauk"
Saya kaget, "SERIUS KAK? SUMPAH DEMI APA?".
"Coba aja gugel beritanya"

Saya buru-buru buka laptop dan nyari berita tentang si buaya muara di pantai Lasiana sambil kebayang-bayang adegan pas saya nyebrangin muara sungai kecil ketika mengunjungi Pantai Lasiana kemarin. Kemudian saya nemu berita kayak gini dan kayak gini plus nemu gambar papan pengumuman ini yang ternyata ada di pantai Lasiana dan beberapa pantai lain di NTT. Saya langsung ngelus dada dan ngebatin, untung kemaren gak ketemu buaya..

Pasti saya keasikan keliling sampe gak ngeh ada pengumuman segede gaban kayak gini -__-

Lalu? kemana lagi setelah ini? Ada cerita apa lagi di Kota Kupang? Ikutin terus cerita perjalanan di Kota Kupang bagian ke3 yaak!

Oiya, kalian pernah ke Pantai Lasiana juga? ada cerita seru apa disana?
Jangan lupa komen di bawah ya :)


Tuesday, January 3, 2017

Backpacker ke Kupang part 1: Antara Keril dan Kostum Hitam-Putih

Waktu itu, jam menunjukkan pukul 09.10 WITA. Pesawat yang saya tumpangi mendarat mulus di Bandara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Setengah mengantuk, saya menarik keril 20L yang warna birunya semakin pudar dari tempat penyimpanan di atas kursi penumpang dan mulai melangkah turun dari kabin pesawat. Seperti biasa, pramugari dan pramugara berjejer rapi di pintu kabin dan mengucapkan salam perpisahan kepada para penumpang.

Begitu keluar dari pesawat, sinar matahari udah berasa panasnya, padahal masih tergolong pagi. Gak heran, NTT memang terkenal dengan iklimnya yang kering dan panas mataharinya yang terik. Beberapa penumpang yang baru turun dari pesawat terlihat mulai tergesa-gesa berjalan menuju bagian dalam bandara mencari tempat yang terlindung dari sinar matahari. Merasa tidak memiliki bagasi yang harus diambil, saya langsung berjalan menuju pintu keluar bandara. Beberapa orang tertangkap basah melirik saya dari atas sampai bawah, saya bisa menduga pertanyaan apa yang tergambar dari raut wajah mereka

Ini anak macam mana dia punya identitas? Dari tasnya macam backpacker, tapi backpacker macam mana yang pake setelan item putih? 

Jawabannya adalah backpacker yang mau ngelamar kerja. Hahaha.

Asal muasal kenapa saya bisa ada di Kota yang jaraknya 2000Km lebih dari Jakarta ini adalah untuk memenuhi panggilan interview dari sebuah lembaga yang memiliki proyek kesehatan di wilayah NTT. Meskipun sebenarnya kantor pusat mereka berlokasi di Jakarta Selatan, tapi karena projeknya di NTT, maka diputuskan interviewnya harus melibatkan dinas kesehatan setempat. Awalnya, ketika mendapat panggilan untuk interview, saya sempat ragu. 

Berangkat, gak, berangkat atau gak ya?

Berangkat atau tidak memang menjadi keputusan yang lumayan berat. Selain karena jarak dan waktu, yang paling bikin galau adalah biaya perjalanan yang gak ditanggung plus tentu saja, kemungkinan gak lolos seleksi tetap ada. Tapi sekali lagi sodara-sodara, fear is temporary, regret is forever, yang artinya kurang lebih: pergi aja dulu, gimana hasilnya itu urusan belakangan, yang penting gak nyesel. Maka dengan membulatkan tekad, saya memutuskan untuk interview sekaligus jalan-jalan. Semenjak proses packing, nuansa jalan-jalan emang terasa lebih mendominasi. Di dalam keril yang saya bawa, semua isinya adalah kostum ngebolang, lengkap dengan drybag, laybag dan seperangkat alat snorkeling, kali-kali aja ketemu tempat snorkeling yang lucu di Kupang. 



Kostum interviewnya mana put?

Cuma satu. Itu pun yang nempel di badan. Setelah mencocokkan jadwal jam interview dengan jadwal pesawat mendarat, saya memutuskan untuk memakai kostum interview langsung dari rumah. Ketika mendapat panggilan interview, gak ngerti gimana, kostum yang langsung terlintas di kepala adalah kostum item-putih. Ini yang kemudian membuat penampilan saya amat sangat gak matching dengan keril yang saya tenteng di punggung.

Balik lagi ke Bandara El Tari, setelah mendapatkan telefon bahwa interviewnya diundur menjadi jam 16.00 WITA, sebagai seorang tukang jalan yang sangat berdedikasi tinggi terhadap waktu dan kesempatan maka pertanyaan pertama, tentu saja, bisa main kemana dulu ini?

Kayak apa destinasi pertama di Kota Kupang?
Gimana kelanjutan interviewnya?
Semuanya ada di part 2. Pantengin terus yak!

Eh kalian pernah saltum juga gak pas traveling? penasaran! cerita di kolom komen yaa :)