Friday, December 25, 2015

Backpacker Teluk Kiluan

Gak ada angin, gak ada hujan, gak juga didahului sama wangi kembang, lagi-lagi Acil, manusia setengah dodol yang belum lama ini jadi travelmate saya ke Bromo dan Baluran, tiba-tiba nongol di dalam blackberry messenger, "Putt. abis lebaran ke Kiluan?? jenguk lumba-lumba, ada temennya nih, tanggal 19??". Diberondong pertanyaan kayak gitu, jidat saya jadi berkerut. Ini anak memang gak pernah pake mukadimah kalo ngirim bbm.

Saya yang lagi ribet ngerjain PR, merespon males-malesan, "penuh gak itu pelabuhan?". Jujur.. Kondisi pelabuhan adalah hal pertama yang terlintas di kepala saat itu karena tanggal yang dicanangkan sama manusia ajaib ini memang mepet banget dengan hari lebaran, hari kedua lebaran malah. Saya memang belum ada rencana kemana-mana libur lebaran tahun ini, tapi mesti antri dan berdesak-desakan di pelabuhan sambil nenteng keril, jelas bukan pilihan yang bagus juga.

Acil kemudian menjawab dengan keyakinan sekelas penjaga loket di pelabuhan Merak, "masih lebaran mah gak kali, yang penuh kan sebelum sama sesudahnya". Meski agak ragu dengan jawaban Acil, toh saya akhirnya memutuskan untuk ikut bergabung juga ke dalam rombongan trip dengan total peserta 11 orang. Konsep perjalanan sempet diomongin beberapa hari sebelum keberangkatan, intinya sih kita bakal kemping di Pulau Kiluan, pulau yang nantinya bakal jadi starting poin untuk berburu lumba-lumba keesokan paginya. Yang kita gak konsepin dengan mateng adalah how to get there. Ini beneran nekat secara kami gak ikut travel paketan ditambah gak ada satupun yang pernah kesana plus gak punya kontak person siapa-siapa disana. Murni backpackeran.

Pukul tiga atau setengah empat pagi, kami sampai di Pelabuhan Bakauheni. Hiruk pikuk pelabuhan yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera ini mulai terlihat meskipun subuh belum datang. Demi melihat kami ber sebelas keluar dari pintu kedatangan dengan menenteng keril, calo-calo mulai bergentayangan. "mau kemana mbak?", "rental mobil mas?" dan pertanyaan-pertanyaan batman lainnya. "udah di jemput mas", jawab saya cool. Padahal dalam hati mah ngakak, Gaya lu put di jemput, di Jakarta aja gak ada yang jemput selain ojek langganan, apalagi di Lampung. :D
Nah, saya mau berbagi tips buat kalian yang juga mau ke Kiluan tanpa ikut travel paketan. Tips pertama adalah pastikan kalian menyebutkan Teluk Kiluan lengkap dengan kecamatan dan kabupatennya; Teluk Kiluan Kecamatan Kelumbayan, Tanggamus, karena beberapa kali saya bertanya ke orang-orang di pelabuhan dengan menyebutkan Kiluan saja, mereka justru balik nanya, "Kiluan? gak pernah denger saya, daerah mana itu?"

Tips kedua adalah.. jangan percaya 100% pada satu informasi di dunia maya, mesti pinter-pinter menggabungkan antara satu informasi dengan informasi lainnya, plus jangan lupa, pakai insting!

Jadi pagi itu setelah diskusi panjang lebar, kami memutuskan untuk menyewa mobil dari Pelabuhan Bakaheuni ke suatu tempat yang bernama Kalibalok. Menyewa mobil adalah pilihan yang cukup efektif dan efisien mengingat rute transportasi umum menuju Desa Kiluan memang agak sulit. Berdasarkan informasi dari sebuah blog, di Kalibalok ini ada banyak travel yang menuju Desa Kiluan. Kemudian driver mobil yang kami sewa malah pasang muka heran. Dengan logat lampung campur batak yang menurut saya agak menyeramkan, dia bilang gini, "bah ngapain kalian jauh-jauh ke Kalibalok, itu sudah arah Palembang, turun saja kalian di Gudang Garam (nama perempatan, red ) dari situ nanti banyak angkot ke Kiluan"

Saya memandang ke arah teman-teman satu rombongan dengan tatapan gimana-nih-jadinya. "Ya udah insting lo Put, Gudang Garam apa Kalibalok?", tanya Aji singkat. "Gudang garam!" jawab saya mantep."nah ya udah. Biasanya, insting cewek kan bener", sahutnya lagi. Yang dia gak tau, insting nyasarin orang saya lebih besar ketimbang insting nunjukin jalan yang bener hahaha.

Perjalanan ke perempatan Gudang Garam dari Pelabuhan Bakauheni sendiri memakan waktu kurang lebih satu jam setengah ( tanpa rem hahaha ). Drivernya mah gilak. Itu rem buat pajangan doang. Jadi tips ketiga buat kalian yang mau backpackeran ke Lampung adalah banyak-banyak berzikir di jalan :)

Perempatan Gudang Garam bagi saya terlihat seperti daerah ruko-ruko. Berhubung kami sampai disana masih cukup pagi, keadaan di sekeliling masih sepi. Alhamdulillahnya insting saya tepat! Disana udah banyak mobil setengah pick up ( mobil pickup tapi ada atapnya ) yang nawarin jasa mengantar ke Desa Kiluan, salah satunya adalah Pak Nawawi. Beliau menawarkan harga yang sedikit lebih murah ketimbang yang saya baca di dunia maya, katanya sih karena beliau sekalian mau ke rumah orang tuanya di dekat desa Kiluan.

Tips keempat, siapkan bokong sebaik mungkin dan pastikan kalian membawa air mineral sebelum menempuh perjalanan menuju Desa Kiluan karena dari pertigaan Gudang Garam menuju Desa Kiluan, yang notabene merupakan desa yang akan dijadikan titik pemberangkatan untuk melihat lumba-lumba di Teluk Kiluan, akan ditempuh selama kurang lebih 4 jam dengan kontur jalanan yang rusak dan berdebu.

Menjelang maghrib, sekitar pukul lima sore, kami sampai di Desa Kiluan. Dari sini kita akan menaiki ojek perahu ke Pulau Kiluan ( atau pulau kelapa ). Pulau Kiluan sendiri adalah pulau yang hanya dihuni oleh beberapa warga yang kebetulan membuka warung disini. Disini terdapat beberapa bangunan penginapan yang berbentuk rumah panggung yang bisa disewa. Meskipun belum dialiri oleh listrik namun terdapat mesin genset yang digunakan oleh penduduk lokal untuk penerangan di sekitar penginapan.

Di pulau ini, sesuai rencana semula, kami bersebelas akan bermalam dengan membuka tenda. Ralat. Mereka membuka tenda, sementara saya lebih memilih untuk menghabiskan malam di dalam hammock.



Tips kelima adalah pastikan kalian sudah menyewa jukung sebelum malam tiba, terutama ketika datang kesana di musim liburan, seperti kami. "Ada kabar buruk", sahut Acil yang baru saja kembali dari arah penginapan untuk menanyakan soal jukung ( perahu kecil ). "jukungnya abis" sambung Acil. Ini cukup membuat kecewa karena untuk melihat lumba-lumba di Teluk Kiluan, kami harus menyewa jukung dari Pulau Kiluan ini.

"ada paling jam delapan an, jadi orang-orang pulang, kita baru dapet jukung buat disewa" jelas Acil panjang lebar. Saya gak banyak komentar. Setau saya, untuk melihat lumba-lumba, pengunjung harus berangkat dari Pulau Kiluan sejak pukul 6 pagi.

"trus gimana dong?" tanya saya.
"kalo gw tetep mau sih, abangnya bilang kalo gak ketemu sama lumba-lumbanya, kita cuma bayar 50% aja, gimana nih yang lain?" tanya Acil. Saya diem. gambling juga ya, tapi nanggung banget kalo cuma sampe pulau tanpa liat lumba-lumbanya, pikir saya dalam hati. Akhirnya setengah khawatir, saya tetap bersedia ikut meskipun kemungkinannya cuma 50%.

Keesokan paginya, sambil menunggu jukung datang, beberapa dari kami ada yang masih di dalam tenda dan memasak air untuk membuat kopi panas, sementara saya menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di pinggir pantai Pulau Kiluan.


beautiful angle
Momen yang ditunggu datang juga, begitu jukung-jukung menepi membawa para pengunjung pulang kembali ke Pulau Kiluan, kami segera berlarian menghampiri. Sambil memakai safety jaket yang ala kadarnya, saya melirik jam tangan, pukul delapan kurang. Saya komat-kamit berdoa semoga beneran bisa melihat lumba-lumba berparade. Jukung pun melaju menuju lautan lepas. Saya mulai menyalakan kamera sambil mengawasi permukaan laut. "itu dia, itu dia ada!"Acil berteriak sambil menunjuk ke arah kumpulan lumba-lumba. "mana mana manaaa?" tanya saya yang memang punya mata minus 3.5. Untungnya, setelah hampir 30 menit di atas jukung, kumpulan lumba-lumba berloncatan tepat di samping kami!

Setelah kurang lebih satu jam setengah melihat kumpulan lumba-lumba yang loncat girang kesana kemari, saya jadi teringat lumba-lumba yang ada di Ancol. Tiba-tiba saya jadi kepingin bikin acara tali kasih lumba-lumba, menemukan dua lumba-lumba yang terpisah sejak lama. Bisa jadi 'kan mereka sebenernya bersaudara lalu kepisah karena salah satunya dibawa ke kolam renang di Ancol untuk disuruh-suruh ngeloncatin lingkaran. Kasian.

Tips terakhir untuk kamu yang juga mau berkunjung ke Teluk Kiluan dan melihat lumba-lumba adalah tolong jangan kotori tempat sebagus ini. Ini. Serius. Karena di beberapa sudut di Pulau Kiluan, sudah mulai nampak tumpukan sampah-sampah pengunjung. Sedih sih. Kalau memang gak bisa bawa pulang, paling gak dibakar bisa jadi alternatif pilihan kali ya. Sayang banget kalau nantinya tempat sekeren ini gak bisa dinikmati sama anak cucu kita nanti.


Ps :
Merak - Bakaheuni PP 30rb
Rental mobil bakaheuni - gudang garam PP 120rb/orang
Gudang garam - Desa Kiluan PP 130rb/orang
Ojek perahu ke Pulau Kiluan ( Kelapa ) PP 15rb/orang
Sewa Jukung 100rb/orang
Lapak tenda 50rb ( apa 75rb ya? lupa haha )


Ijin menginap di Pulau Kiluan 5rb/orang





Belajar Nginang di Pantai Saba, Biak Timur

Sore itu, mobil yang saya tumpangi bersama dengan teman-teman dari Poltekkes Kemenkes Jayapura Kampus Biak, melaju kencang menuju distrik Biak timur. Sesuai rencana, saya akan diajak melihat-lihat keindahan pantai di Biak Timur. Tiba-tiba mobil menepi di sebuah pasar tradisional. "mau beli pinang dulu" kata Ibu Ritha dengan logat papuanya yang khas. Saya yang malas menunggu di dalam mobil meminta untuk ikut turun. Begitu memasuki area pasar tradisional, pedagang pinang mendominasi pasar. Rasanya, hampir setiap sudut, dengan mudah saya dapat menjumpai penjual pinang. 


"Mari ibu, lima ribu saja ibu" tawar seorang penjual kepada kami. Lima ribu itu berarti segerombol buah pinang ( biasanya isinya sekitar 10-15 buah ), satu batang buah sirih dan sejumput bubuk kapur. Sekedar informasi, seperangkat pinang ini bisa habis dalam sekali waktu. Rata-rata orang papua bisa menghabiskan 5 sampai 10 paket. 

Harga lima ribu yang ditawarkan tadi masih tergolong murah. "waktu saya datang Jakarta, trada ( tidak ada ) yang jual pinang harga lima ribu, rata-rata dua puluh ribu" ucap Bu Leny.  Namun karena faktor kebiasaan dan tradisi yang sudah lama dilakukan, harga menjadi nomor kesekian. Bahkan ketika mereka berada di Jakarta, dalam satu hari, biaya yang dikeluarkan untuk membeli seperangkat pinang dkk bisa lebih dari 100ribu. 

Iya. Mengunyah pinang memang telah menjadi tradisi khas masyarakat Papua yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Usia untuk memulai makan pinang bahkan sudah dilakukan sejak anak berusia 5 tahun. Buah pinang juga menjadi buah tangan yang paling disukai ketika masyarakat papua berkunjung ke rumah sanak saudaranya.

Berdasarkan pengakuan bu Leny, mengunyah pinang memiliki beberapa keuntungan tersendiri. "Gigi jadi lebih kuat, makanya meski sudah tua, orang sini giginya masih bagus-bagus, masih lengkap", jelas bu Leny sambil asik mengunyah pinang. "ooooooooooooo" jawab saya sambil memperhatikan mulut bu Leny yang seketika berubah menjadi merah, warna yang terjadi ketika pinang, sirih dan bubuk kapur menyatu dengan liur di dalam mulut. "sering makan pinang bagus juga buat suami" kata bu Leny lagi. Saya yang gak ngerti dimana korelasinya, kemudian bertanya dengan muka bingung, "lah, emang kenapa bu?". "jadi rapat kita punya itu..." jawabnya sambil tertawa. 

Wow, bisa jadi saingan jamu galian rapet nih, pikir saya sambil ikut tertawa.

Akhirnya dengan segala cerita bu Leny yang menggambarkan kenikmatan tersendiri dari mengunyah pinang, saya pun penasaran dan minta diajari bagaimana cara makan pinang yang baik dan benar. Jadi, pertama-tama buah pinang dikupas dengan menggunakan gigi ( serius, gigi ) lalu buah pinang yang telah dikupas dikunyah bersama dengan buah sirih yang telah dicocol dengan bubuk kapur. Kedengerannya mudah kan? tapi kalian mesti tau, ngupas buah pinang pake gigi itu gak semudah kedengerannya. Dan benar saja, setelah semua komponen nginang masuk kedalam mulut, rasanya asam campur pahit. Namun, hal yang paling membuat saya excited adalah ketika saya berhasil membuat liur berwarna merah, persis seperti drakula yang abis makan siang.


Secara keseluruhan, mengunyah pinang tidak hanya merupakan kebiasaan atau tradisi lokal masyarakat setempat, tetapi ada nilai kerukunan yang tersimpan di dalamnya. Kebiasaan mengunyah pinang bersama-sama dengan orang terdekat diakui menjadi momen hangat yang bisa menambah akrab hubungan keluarga setelah seharian penuh beraktivitas. 

Baiklah.. besok saya ajak adek dan abang saya untuk duduk dan makan pinang bareng biar makin akrab haha.


Memutar Balik Waktu di Antara Toko Kaset Blok M Square

Sabtu ini, kesalahan membaca tanggal sebuah acara membuat saya terdampar di salah satu pusat perbelanjaan yang terletak di wilayah Jakarta Selatan, Blok M Square. Saya yang merasa sudah jauh-jauh datang tentu saja merasa malas untuk langsung pulang begitu tau bahwa acara yang mau saya datangi ternyata masih dua minggu lagi ( efek baca flyer bangun tidur tanpa kaca mata ). Saya pun memutuskan untuk turun ke lantai paling bawah yang terkenal dengan toko-toko yang menjual buku-buku murah.

Mata saya berkelana dari tumpukan buku satu ke buku yang lain mencoba mencari buku-buku statistika yang mungkin saya perlukan untuk menyusun tugas akhir. Lalu tanpa sengaja mata saya terhenti di sebuah toko kaset. Entah bagi orang lain, tapi bagi saya, kaset?? di era mp3 seperti ini? puh-lease, masih ada gitu yang mau beli?


Merasa penasaran, saya pun memasuki toko yang luasnya paling hanya 2x1 meter. Sambil tangan saya menyusuri satu persatu kaset yang tersusun di rak kayu setinggi kurang lebih dua meter, saya mulai bertanya ini itu kepada pemilik toko, seorang pria berusia 47 tahun yang biasa dipanggil Abah oleh para pembeli disana. "kok jual kaset sih Bah? kan sekarang mah jamannya mp3" Si Abah tersenyum kemudian menjawab, "kaset itu berasa sejarahnya, dengan kita memutar kaset, kita jadi inget masa-masa muda dulu, jaman-jaman sekolah" Saya mengangguk setuju. Beda memang auranya antara lagu yang mengalun dari kaset dengan lagu mp3 hasil download-an.

"aaaaaak.. Karmila! Gilaaak Bah, ini tahun berapa?" jerit saya ketika tanpa sengaja melihat satu kaset yang dari dandanan penyanyinya, jelas kaset ini bukan berasal dari tahun 90-an. "Oh Faris Bani Adam? Tahun 72 ini. Pas banget Abah masih kelas 6 SD". Saya mangap. Tujuh puluh dua?? Itu kan 43 tahun yang lalu! Wow.. saya jadi bertanya-tanya apakah CD mampu bertahan selama itu ya?

Salah satu koleksi tertua Abah dari tahun 1972
Berdasarkan keterangan Abah, ternyata peminat kaset masih bisa dibilang cukup banyak. Dalam satu hari Abah paling sedikit bisa menjual 10 kaset, bahkan jika pesanan sedang ramai, Abah bisa menjual 20 kaset dalam satu hari. Dari segi penyanyi lokal, kaset yang paling banyak dicari adalah Iwan Fals dan Godbless sementara dari penyanyi mancanegara, kaset yang paling sering diburu orang adalah aliran britpop seperti Oasis, Pink Floyd dan grunge macam Nirvana

Gak berapa lama berselang, datang seorang pria berkacamata yang rupanya adalah langganan tetap si Abah. Melihat muka saya yang oh-masih-ada-yang-suka-beli-kaset-ya, dia menunjukkan satu buah kaset pesanannya, kaset Anang Hermansyah. Entah jaman apa itu kaset dirilis, yang jelas Anang Hermansyah masih gondrong dan.. cupu.

"Buat saya, kaset itu kecintaan kita terhadap musik" katanya sambil jongkok di sebelah saya. Tangannya sibuk memilah-milih kaset yang berjejer rapi. "tapi emang gak ribet ya? kemana-mana mesti bawa walkman belum lagi gonta-ganti batereinya" tanya saya lagi. "Tapi dengan begitu kita jadi tau 'kan cara menghargai karya seni seseorang" sahutnya

Lalu saya diem, speechless.
Teringat beberapa belas tahun silam ketika saya masih duduk di bangku SD, betapa demi bisa membeli kaset Westlife yang lagi booming saat itu, saya harus merelakan uang jajan saya yang gak seberapa untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit.

Iya. Dia benar. That's how fans supposed to do. Menghargai idolanya, ya kan?

Rasanya semakin kesini, sebagian besar dari kita gak pernah lagi merasakan sensasi bersusah payah seperti dulu demi sebuah lagu, iya gak sih? Semua ada di google, tinggal klik, download, beres. Segitu mudahnya sampai kita lupa cara menghargai si empunya lagu.

Cowok berkacamata yang belakangan saya tau namanya adalah Novo, kembali berceloteh tentang kekagumannya pada benda bernama kaset, "kaset itu harta karun lhoo". Saya bengong. "iya harta karun" ulangnya mantap. "kamu tau gak? kaset Nike Ardilla itu bisa sampe jutaan lho harganya". Saya makin bengong.

Bicara tentang kaset, jaman saya SD sampai SMP, ada beberapa kaset yang pernah saya miliki. Ralat. Kaset yang abang saya pernah miliki lalu saya akuin hahaha. Meski kurang praktis ( karena beberapa kali harus ngerapihin pita kaset yang terkadang menjulur berantakan keluar ), namun setelah memasuki toko kaset ini, tiba-tiba saya jadi rindu masa-masa itu, masa dimana saya sering menggulung pita kaset menggunakan ujung pensil, masa dimana saya menyambung pita kaset yang putus dengan selotip, masa dimana sampul kaset sebegitu lusuhnya karena sering dibaca waktu menghapal lagu. Kangen ya?

"kamu gak suka ini?" Abah membuyarkan lamunan saya sambil menyodorkan kaset dari grup Culture Club. Saya bengong, "bukannya gak suka Bah, saya mah malah gak tau kalo ada band yang namanya begitu". Abah tertawa, "yaudah coba dengerin satu lagu dulu". Abah kemudian beranjak menuju radio tapenya sementara saya membuka sampul kaset Culture Club yang ada di tangan saya. 


Begitu membaca list lagu di dalam sampul kasetnya, saya menjerit senang, "Karma Charmaleon! saya pernah denger lagu ini Bah! Aaaaak saya mau kaset ini Bah" Benar saja, gak berapa lama lagu Karma Charmaleon mengalun lincah dari radio tape Abah. Seiring dengan lagu yang mengalun, si Abah kembali bernostalgia, "band ini ngetop banget pas Abah kelas 2 SMP. Pokoknya tiap orang yang seangkatan Abah pasti tau band ini!"

"nah enaknya gitu kalo kaset, ada lirik lagunya" komentar Abah saat melihat saya menyanyi sambil melihat lirik lagu yang tertulis di dalam sampul kaset Culture Club. "Jadi inget jaman dulu kaaan?" sahut saya yang ternyata bersamaan dengan Abah. Tawa kami berdua pecah.

Karma karma karma karma Chamaleon.. you come and go.. you come and go. Loving would be easy if your colours were like my dream.. red, gold and green.. red, gold and green.. 

Lalu sore itu, di sela-sela suara Boy George, vokalis Culture Club yang menyanyikan Karma Charmaleon, saya menyadari satu hal. Orang membeli kaset bukan hanya sekedar membeli lagu yang ada didalamnya tapi juga berikut kenangan yang menyertai lagu tersebut. Ini yang kemudian membuat kaset menjadi benda bersejarah yang menyenangkan untuk dimiliki.. kembali.


Kemping di Pulau Semak Daun


Kepulauan Seribu selalu menjadi alternatif wisata bagi saya ketika tidak memiliki banyak dana maupun banyak waktu. Selain jaraknya yang dekat dan bisa dinikmati cukup dengan 2 hari 1 malam, biaya yang harus dikeluarkan untuk menikmati birunya laut dan putihnya pasir pun relatif murah. Salah satu pulau yang menarik untuk dikunjungi dengan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh adalah Pulau Semak Daun.




"Eh gapapa ini gw ngikut?" tanya saya ke Arif, laki-laki bertubuh gempal yang mengelola sebuah jasa tour and travel bernama Wiyata Island. "udah gapapa, nyantai aja, gw juga sekalian bawa tamu kok kesana" jawabnya yang membuat saya bersorak sorai bergembira. Again, nebeng is my middle name hahaha.

Lalu sabtu pagi itu, seperti biasa, perjalanan ke Kepulauan Seribu selalu dimulai dari Dermaga Muara Angke. "Put gw nungguin di deket pom bensin Angke ya". Saya yang notabene belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan Arif, jelas panik. "lah gimana caranya gw ngenalin lo?". "gampang", katanya. "gw pake baju oranye". Yang dia gak tau, kemungkinan orang pake baju oranye itu kan banyak yaa..  apalagi di dermaga Muara Angke pada Sabtu pagi, dimana seisi jakarta seolah-olah ingin pergi semua ke Kepulauan Seribu. Maka, jadilah saya pagi itu jelalatan di pom bensin Muara Angke merhatiin satu persatu orang yang berbaju oranye. Dan ketemu!

Setelah semua tamu Arif sudah berkumpul, kami segera menerobos kerumunan dan masuk kedalam kapal jurusan Pulau Pramuka. Iya. Dari Dermaga Muara Angke tidak ada kapal yang melayani rute Angke - Semak Daun, jadi siapapun yang ingin mengunjungi pulau ini harus transit ke Pulau Pramuka kemudian menyewa perahu nelayan ke Pulau Semak Daun. Pulau Semak Daun sendiri secara praktis sebenarnya adalah pulau kosong. Namun, pulau ini kemudian menjadi salah satu primadona spot camping. Meskipun ketika weekend ada warung kecil yang buka disini, tapi akan lebih baik jika segala keperluan untuk camping seperti makanan dan stok air tawar disiapkan di Pulau Pramuka.

Gosong Pulau Air : Pulau Seribu Rasa Maldives!
Perjalanan dari Pulau Pramuka menuju ke Pulau Semak Daun ditempuh selama 30 menit. Sebelum ke Pulau Semak Daun, rombongan kami mampir di sebuah area kecil yang berpasir putih di tengah lautan, Gosong Pulau Air!


Di tempat yang serasa Maldives ini, rombongan kami mampir sebentar untuk melakukan pemanasan sebelum sesi snorkeling di sekitar Pulau Air.

Yeay, Its Snorkeling Time!
Spot snorkling kami adalah di sekitar Pulau Air. Disini meskipun karangnya kurang bervariasi, namun barisan ikannya yang hilir mudik membuat saya tidak mau beranjak dari dalam air!


Eksplor Pulau Semak Daun!
Kami merapat di Pulau Semak Daun tidak berapa lama setelah waktu ashar tiba. Suasana pulau cukup ramai, tenda-tenda berdiri hampir di setiap sudut pulau, baik di tepi pantai dekat dermaga maupun agak ke arah belakang pulau. Berjalan sedikit ke tengah pulau, ada bangunan warung kecil yang menjual air mineral, mie instan dan makanan kecil seperti chiki dan gorengan. Untuk toilet umum, meskipun sudah tersedia tidak jauh dari warung tadi, namun kondisinya kurang terawat. But the good news is.. tempat ini dilewati sinyal 3G! Its quite comforting haha


Ada banyak cara menghabiskan waktu di pulau yang lebarnya gak lebih dari 4 kali lapangan tenis ini, mulai dari berkeliling pulau, berenang di pantainya yang lebih mirip kolam renang raksasa saking tenang tanpa ombak, hammocking sampai duduk-duduk di dermaga dan menikmati suasana pulau kecil. Dan pilihan saya jatuh kepada menikmati suasana pulau dari dermaga kayu bersama satu buah buku dan tiga orang teman baru saya, Marwa, Rida dan Evi.


Malam harinya, angin laut yang terasa lembab membuat saya tidak sanggup untuk tidur di dalam tenda, gerah. Berhubung saya tidak membawa hammock, akhirnya saya menggelar sleeping bag di atas pasir tepat di sebelah tenda. Malam itu, saya tidur dengan suara ombak yang terdengar begitu dekat sementara dari kejauhan terdengar suara obrolan dan nyanyian pengunjung lain yang membuka tenda tidak jauh dari tenda kami.


Ketika pagi, Pulau Semak Daun mendadak ramai. Pengunjung baru datang silih berganti mulai dari yang sekedar singgah untuk mengambil gambar, datang untuk pemanasan snorkeling sampai yang memang betul ingin kemping disini. Suasana hiruk pikuk seperti ini membuat saya memilih untuk duduk di dalam perahu yang nantinya akan membawa saya dan rombongan pulang ke Pulau Pramuka untuk seterusnya menaiki KM Raksasa, merapat di Muara Angke dan kembali ke rumah.

Pulau Semak Daun memang  pulau yang ideal untuk membuka tenda, hanya saja untuk mendapatkan ketenangan suasana pulau kosong, datanglah di waktu weekdays.


Monday, December 21, 2015

ACIL, si Travelmate Edisi Ngakak


Bagi saya, dengan siapa kita melakukan perjalanan akan menentukan cerita apa yang akan kita bawa pulang. Makanya, destinasi semenarik apapun bakalan percuma kalau kita kesana bersama 'orang yang salah', misalnya teman seperjalanan yang bossy atau miss/mister complaining. begitu juga sebaliknya, destinasi sesederhana apapun, bakalan menjadi menarik ketika kita kesana dengan orang yang menyenangkan. Salah satunya adalah Acil, travelmates yang bakal saya ceritain disini.

Acil ini sebenernya teman kuliah abang saya yang kebetulan lumayan sering main ke ngeberantakin rumah. Bahkan bareng abang saya dan anggota genknya yang lain, beberapa kali kita sempat jalan bareng ke tempat-tempat yang ada di sekitar Jakarta, mulai dari Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu sampai keliling daerah kota tua di malam hari. Tapi officially, trip pertama saya bareng transmigran planet Namec ini adalah ke Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Sampai tulisan ini dibuat, ada beberapa tempat yang sudah saya datangi bareng Acil, dan ini belum termasuk rencana-rencana trip lain ke depannya hahaha.

Bepergian bareng Acil, membuat saya selalu membawa pulang cerita yang lucu, menyenangkan dan di luar dugaan. Salah satunya adalah momen waktu Acil tanpa sengaja menghilangkan kunci pemilik homestay di Bromo.

"put, kunci mana?" tanya Acil dengan muka polos tepat setelah kami selesai mengeksplor lautan pasir di gunung Bromo. Saya yang merasa gak megang kunci jelas sedikit sewot, "dih, kan sama lo, tadi pagi kan udah gw kasih, cumii"

"ah seriuuuuus lo?", mukanya langsung panik. Acil kemudian sibuk meraba-raba kantong jaket dan celananya. "udah cil, beneran dah, udah gw kasih ke lo", ulang saya yang pada akhirnya ikutan juga merogoh-rogoh seisi tas demi mencari kunci yang diberi tali rafia warna merah itu. Sekedar info, si empunya kunci adalah wanita paruh baya dengan kesan galak, kita memanggilnya dengan sebutan Budhe. Beliau ini sebenernya baik, cuma karena setiap kali kita becandain, si ibu gak pernah ketawa, maka kita jadi agak segan.

Setelah dicari kesana kemari, ternyata kuncinya beneran gak ada. Kemungkinan besarnya kunci itu jatuh ketika kita keliling di lautan pasir gunung Bromo, "wah parah lo Cil, bodo, pokoknya lo yang bilang ke budhe". Acil cuma pasrah sambil bilang, "iyak. ntar gw minta maap dah".

Maka, sambil menunggu momen yang tepat untuk minta maaf ke Budhe, saya menyuruh Acil untuk latihan minta maaf supaya lancar kalimatnya, sehingga kemungkinan dikepret Budhe pake sapu ijuk bisa diminimalisir. Dasarnya si Acil mah manusia setengah dodol, bukannya latihan gimana ekspresi menyesal yang seharusnya, ini anak malah ngeluarin ekspresi setara orang keselek biji salak.


Momen dodol yang lainnya adalah ketika kita sampai di Savana Bekol Taman Nasional Baluran. Di pinggiran savana, ada tulang tulang kepala hewan yang sengaja disusun disana sebagai maskot. Saya yang ingat kalau Acil pernah nyeletuk mau berpose seperti suku kanibal disini, secara otomatis menagih realisasinya, "ayok Cil, lo katanya mau pose suku kanibal?", sahut saya gak sabaran, "et put, ntar dulu apaaah, kan masih ada orang ituuh"

Lalu, setelah celingak celinguk dan memastikan bahwa tidak ada pengunjung lain di sekitar Savana Bekol, Acil mulai pasang pose. Tadinya saya pikir pose kanibal serem macam apa yang bakal dikeluarin sama anak ini, ternyata cuma sebatas  pose badut dufan yang lagi nakut-nakutin anak kecil.

Yaelah Cil.. siapa yang takut sama ekspresi yang kayak gini?
Belum lagi gayanya yang lebih mirip tukang parkir lumba-lumba ketimbang pawang lumba-lumba ketika kami mengunjungi Teluk Kiluan, di Kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan beberapa waktu yang lalu. Si mamang lumba-lumba, begitu judul yang saya beri untuk video ini.

Segala kelakuan anak ini yang rada ajaib untuk ukuran manusia justru membuat saya selalu bisa menulis cerita dengan sudut pandang yang berbeda, gak melulu soal how to get there yang seolah menjadi rutinitas yang baku di tiap postingan berbau travelling. Lihat saja betapa perjalanan ke Taman Nasional Baluran bisa saya tulis sampai part3, yang keseluruhan isinya lebih kepada kedodolan yang terjadi selama perjalanan ketimbang apa yang ada disana. Hahaha. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu alasan kenapa setiap kali ada destinasi yang menarik, orang pertama yang terlintas di kepala untuk dijadikan teman seperjalanan adalah Acil.

Bahkan cuaca jelek pun bisa tetap menyenangkan
Pada akhirnya, sekali lagi, filosofi saya tetap sama,  perjalanan bukan tentang kemana kita melangkah tetapi lebih kepada dengan siapa kita berjalan kesana. 




ACIL, si Travelmate Edisi Ngakak


Bagi saya, dengan siapa kita melakukan perjalanan akan menentukan cerita apa yang akan kita bawa pulang. Makanya, destinasi semenarik apapun bakalan percuma kalau kita kesana bersama 'orang yang salah', misalnya teman seperjalanan yang bossy atau miss/mister complaining. begitu juga sebaliknya, destinasi sesederhana apapun, bakalan menjadi menarik ketika kita kesana dengan orang yang menyenangkan. Salah satunya adalah Acil, travelmates yang bakal saya ceritain disini.

Acil ini sebenernya teman kuliah abang saya yang kebetulan lumayan sering main ke ngeberantakin rumah. Bahkan bareng abang saya dan anggota genknya yang lain, beberapa kali kita sempat jalan bareng ke tempat-tempat yang ada di sekitar Jakarta, mulai dari Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu sampai keliling daerah kota tua di malam hari. Tapi officially, trip pertama saya bareng transmigran planet Namec ini adalah ke Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Sampai tulisan ini dibuat, ada beberapa tempat yang sudah saya datangi bareng Acil, dan ini belum termasuk rencana-rencana trip lain ke depannya hahaha.

Bepergian bareng Acil, membuat saya selalu membawa pulang cerita yang lucu, menyenangkan dan di luar dugaan. Salah satunya adalah momen waktu Acil tanpa sengaja menghilangkan kunci pemilik homestay di Bromo.

"put, kunci mana?" tanya Acil dengan muka polos tepat setelah kami selesai mengeksplor lautan pasir di gunung Bromo. Saya yang merasa gak megang kunci jelas sedikit sewot, "dih, kan sama lo, tadi pagi kan udah gw kasih, cumii"

"ah seriuuuuus lo?", mukanya langsung panik. Acil kemudian sibuk meraba-raba kantong jaket dan celananya. "udah cil, beneran dah, udah gw kasih ke lo", ulang saya yang pada akhirnya ikutan juga merogoh-rogoh seisi tas demi mencari kunci yang diberi tali rafia warna merah itu. Sekedar info, si empunya kunci adalah wanita paruh baya dengan kesan galak, kita memanggilnya dengan sebutan Budhe. Beliau ini sebenernya baik, cuma karena setiap kali kita becandain, si ibu gak pernah ketawa, maka kita jadi agak segan.

Setelah dicari kesana kemari, ternyata kuncinya beneran gak ada. Kemungkinan besarnya kunci itu jatuh ketika kita keliling di lautan pasir gunung Bromo, "wah parah lo Cil, bodo, pokoknya lo yang bilang ke budhe". Acil cuma pasrah sambil bilang, "iyak. ntar gw minta maap dah".

Maka, sambil menunggu momen yang tepat untuk minta maaf ke Budhe, saya menyuruh Acil untuk latihan minta maaf supaya lancar kalimatnya, sehingga kemungkinan dikepret Budhe pake sapu ijuk bisa diminimalisir. Dasarnya si Acil mah manusia setengah dodol, bukannya latihan gimana ekspresi menyesal yang seharusnya, ini anak malah ngeluarin ekspresi setara orang keselek biji salak.


Momen dodol yang lainnya adalah ketika kita sampai di Savana Bekol Taman Nasional Baluran. Di pinggiran savana, ada tulang tulang kepala hewan yang sengaja disusun disana sebagai maskot. Saya yang ingat kalau Acil pernah nyeletuk mau berpose seperti suku kanibal disini, secara otomatis menagih realisasinya, "ayok Cil, lo katanya mau pose suku kanibal?", sahut saya gak sabaran, "et put, ntar dulu apaaah, kan masih ada orang ituuh"

Lalu, setelah celingak celinguk dan memastikan bahwa tidak ada pengunjung lain di sekitar Savana Bekol, Acil mulai pasang pose. Tadinya saya pikir pose kanibal serem macam apa yang bakal dikeluarin sama anak ini, ternyata cuma sebatas  pose badut dufan yang lagi nakut-nakutin anak kecil.

Yaelah Cil.. siapa yang takut sama ekspresi yang kayak gini?
Belum lagi gayanya yang lebih mirip tukang parkir lumba-lumba ketimbang pawang lumba-lumba ketika kami mengunjungi Teluk Kiluan, di Kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan beberapa waktu yang lalu. Si mamang lumba-lumba, begitu judul yang saya beri untuk video ini.

Segala kelakuan anak ini yang rada ajaib untuk ukuran manusia justru membuat saya selalu bisa menulis cerita dengan sudut pandang yang berbeda, gak melulu soal how to get there yang seolah menjadi rutinitas yang baku di tiap postingan berbau travelling. Lihat saja betapa perjalanan ke Taman Nasional Baluran bisa saya tulis sampai part3, yang keseluruhan isinya lebih kepada kedodolan yang terjadi selama perjalanan ketimbang apa yang ada disana. Hahaha. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu alasan kenapa setiap kali ada destinasi yang menarik, orang pertama yang terlintas di kepala untuk dijadikan teman seperjalanan adalah Acil.

Bahkan cuaca jelek pun bisa tetap menyenangkan
Pada akhirnya, sekali lagi, filosofi saya tetap sama,  perjalanan bukan tentang kemana kita melangkah tetapi lebih kepada dengan siapa kita berjalan kesana.