Sunday, May 22, 2016

Backpacker VS Bikepacker

Bagi penggila jalan-jalan, istilah backpacker mungkin udah gak asing lagi di telinga. Istilah backpacker dipakai untuk menyebut orang yang melakukan backpacking. Backpacking sendiri bisa diartikan sebagai sebuah perjalanan dengan sistem low-budget. Pemilihan moda transportasi dan penginapan yang dipilih biasanya semurah mungkin agar bisa menghabiskan waktu lebih lama di suatu daerah. Selain menikmati keindahan suatu tempat, fokus lain dari kegiatan ini adalah menikmati interaksi sosial selama perjalanan. Sesuai dengan sebutannya, backpacker umumnya identik dengan tas punggung yang dipakai untuk membawa semua barang yang mungkin dibutuhkan selama perjalanan. 

Sebelum abad ke 17, orang yang bepergian jauh dari rumahnya identik dengan sesuatu yang negatif misalnya menderita suatu penyakit, tragedi atau pergi akibat peperangan. Namun sejak abad ke 17 dan 18, bepergian menjadi sebuah trend positif bercita rasa pendidikan dan hobi di kalangan anak muda saat itu. Nah kalau bikepacker?? Istilah apalagi itu?


Sumpah ini saya lagi gak lari dari peperangan

Bagi yang aktif di kaskus (salah satu sosial media yang cukup besar di Indonesia) istilah bikepacker mungkin gak asing lagi di telinga. Merujuk kepada salah satu halaman di komunitas mereka, pengertian bikepacker diambil dari dua kata yaitu biker dan backpacker, yang kalau diartikan secara rinci adalah sebuah kegiatan mengeksplorasi keindahan alam dengan menggunakan kendaraan roda dua plus tentu saja, dengan budget seminimal mungkin. 

Logo komunitas bikepacker di Kaskus

Saya yang selama ini selalu menggunakan kereta api ketika bepergian jauh, gak pernah berfikir untuk melakukan bikepacking, sampai suatu ketika, saya kenal dengan dua makhluk dari komunitas ini, Gazza dan Ugi, yang akhirnya malah ngetrip bareng naik motor ke Jogjakarta di bulan Oktober tahun 2015 lalu. Waktu itu rasanya saya berjanji kepada bokong diri saya sendiri, saya gak mau lagi diajak naik motor jarak jauh, pegelnya itu lho.. bisa tiga hari kemudian baru hilang. Tapi nyatanya, libur panjang kemarin, saya malah ikutan gabung ketika mereka membuat trip bikepacker dengan rute yang lebih gila lagi : Banyuwangi! 

Pantai Watu Dodol, Banyuwangi
Bikepacker!

Selama menempuh perjalanan Jakarta-Banyuwangi bersama mereka, saya menyimpulkan ada beberapa perbedaan signifikan antara menjadi seorang backpacker dan bikepacker. Apa saja? ini dia!

Bikepacker membutuhkan extra tenaga dan nyali dibandingkan dengan backpacker.
Ini ketauan ketika menempuh perjalanan ke kota tujuan. Jika backpacker yang mengambil moda transportasi umum bisa beristirahat, nonton tivi bahkan membaca buku selagi menuju kota tujuan, tidak dengan bikepacker. Mereka harus berjibaku dengan mata ngantuk, punggung pegal dan bokong pedes untuk bisa sampai ke kota tujuan. Bukan cuma tenaga, tapi dibutuhkan nyali lebih banyak untuk menjadi seorang bikepacker. Mulai dari melewati rute sepi di tengah hutan, lintasan yang penuh dengan tikungan tajam plus kemungkinan dipepet truk gandeng yang mungkin terjadi selama perjalanan. Makanya saya mengambil kesimpulan: setiap orang bisa saja menjadi seorang backpacker, tapi menjadi bikepacker? belum tentu semua orang sanggup!

Ugi di suatu tempat antara Nganjuk dan Ngawi

Peralatan yang dibawa bikepacker lebih banyak ketimbang backpacker
Bagi seorang backpacker biasanya barang bawaan gak jauh dari apa yang akan melekat ditubuhnya selama perjalanan, misalnya saja pakaian ganti, matras atau sleepingbag. Bagi bikepacker, selain apa yang akan ia kenakan nanti, ia juga harus membawa peralatan lain yang mungkin dibutuhkan oleh tunggangannya, mulai dari ban dalam, kabel ties sampai yang ribet seperti berbagai macam kunci dan obeng-obeng standart yang biasa dipakai untuk memperbaiki kerusakan ringan pada motor.

boleh searching di gugel

Bikepacker harus siap hidup dari satu pom bensin ke pom bensin lainnya
Meskipun mengusung konsep perjalanan yang sama yaitu low budget, bikepacker lebih ekstrim ketimbang backpacker. Kebanyakan dari para backpacker akan kebingungan jika ternyata losmen kelas melati yang harganya murah meriah ternyata full-booked, mereka biasanya harus merelakan untuk tidur dengan biaya yang sedikit lebih mahal ketimbang yang telah direncanakan. Tapi tidak untuk para bike packer.
"ah tenang, masih ada pom bensin kan?"
Yap. Mereka mampu beradaptasi dengan lantai musholla atau emperan pom bensin dengan cepat tanpa merasa malu untuk meluruskan badan di tempat seperti itu. 

foto diambil dari perjalanan tamafear.blogspot.co.id

Kayanya menderita banget ya menjadi seorang bikepacker? No.. no.. nanti dulu. Jangan mengambil kesimpulan sebelum kamu selesai membaca poin-poin berikut ini

Biaya perjalanan bikepacking menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan backpacking.
Jika masih di satu pulau alias gak pake nyebrang ferry, biaya transportasi bikepacker lebih murah ketimbang backpacker. Ini terbukti. Kemarin ketika saya bikepacking ke Banyuwangi, hanya menghabiskan tidak sampai 400 ribu untuk satu motor pulang pergi, itu pun dibagi dua orang menjadi kurang lebih 200 ribu satu orang. Jika perjalanan ditempuh dengan cara backpacking dengan moda transportasi umum akan menghabiskan biaya hampir dua kali lipatnya. Belum lagi jika tidak ada angkutan umum di kota tujuannya, para backpacker biasanya akan menyewa ojeg atau mobil agar bisa sampai ke objek wisata yang dituju. Ini tentu membuat pos pengeluaran bertambah bengkak jika dibandingkan dengan para bikepacker.


Pindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya?? Mudah banget bagi para bikepacker!
"Di Kota A banyak angkutan umumnya gak? kalau gak ada kita naik apa dong keliling kotanya?"
"Bis ini sampai di depan objek wisatanya atau harus nyambung lagi ya?"
"Duh kita jangan lama-lama di pantai ini, soalnya bis terakhirnya jam 4 sore" 
Ini adalah masalah klasik yang sering ditemui oleh kebanyakan backpacker yang berkelana ke kota-kota kecil dimana moda transportasi umumnya terbatas. Mereka harus menyesuaikan waktu eksplorasi dengan ketersediaan sarana transportasi disana. Syukur-syukur punya uang lebih untuk sewa motor atau mobil. Tapi buat bikepacker? Hal seperti ini gak ada di kamus mereka. Hopping destination is just one starter away. Efektif dan efisien!

diambil dari adventuriderz.com

Itinerary bisa SANGAT berkembang, tergantung kota mana yang dilewati
Niatnya mau ke Bali, tapi pas lewat Klaten ternyata ada objek wisata yang menarik. Mampir dulu? bisa banget. Ini adalah kelebihan plus-plus yang dimiliki oleh para bikepacker. Masalah transportasi yang sudah ada di genggaman, membuat itinerary yang mereka susun menjadi lebih bervariatif, misalnya saja mencoba kuliner yang khas di tiap kota yang mereka singgahi atauu.. bisalah selfie dulu jika kebetulan melewati pantai atau tempat menarik lainnya yang ditemui di sepanjang jalan.

Ketemu pemandangan bagus dikit.. ckrekk! ( foto diambil dari forum bikepacker kaskus)

Lebih berasa petualangannya!
Jika kamu adalah orang yang punya naluri berpetualang yang tinggi, jika kamu ingin menikmati setiap meter jalan yang kamu tempuh menuju destinasi impian kamu, maka gak ada alasan untuk tidak mencoba bikepacking. Kamu akan merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat pemandangan sambil memainkan angin yang menerpa jari jemari saat kita bentangkan ia ke samping. Saya sendiri sangat menikmati perjalanan selama bikepacking ke Banyuwangi kemarin, entah itu ketika melewati perbukitan teh di daerah Bogor, daerah pertambangan yang ngebulnya minta ampun di Bandung sampai area persawahan yang memanjakan mata ketika memasuki daerah jawa tengah. Memang lelah dan lama, tapi kemudian saya berbisik kepada diri sendiri, "well.. this what i called adventure!"


Pada akhirnya, sama seperti semua hal di dunia ini, Satu cara belum tentu lebih baik dari cara yang lain. Semua pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Tinggal bagaimana pilihan yang akan kita ambil. 

Jadi.. gimana? tertarik menjadi bikepacker? :)


Saturday, May 21, 2016

Bikepacker ke Banyuwangi Part6 (tamat): Panen Air Terjun Di Kampung Anyar!

Tepat ketika saya berfikir bahwa liburan di Banyuwangi telah usai sepulangnya kami dari pos bayangan Kawah Ijen, sore itu Gazza, yang notabene penggila air terjun, mengajak kami berlima untuk mencari lokasi air terjun yang berdasarkan keterangan dari polisi hutan yang kami temui hanya berjarak 3 kilometer saja dari pos bayangan Kawah Ijen.

"Mana Ge? gak ada papan penunjuk apa-apa" komen saya setelah motor melaju di jalan raya hampir 10 menitan. "Itu apaa?" katanya ketika motor kami melintasi sebuah papan penunjuk. Begitu didekati ternyata papan penunjuk lokasi perumahan. "Bukan di arah sini kali ya?" gumam saya sambil celingak celinguk mencoba mencari papan lain di pinggir yang mungkin berisi informasi tentang air terjun yang diceritakan si bapak polisi hutan. Merasa tidak menemukan petunjuk apa-apa, Gazza mulai pasrah, "ya udah kalo gak ketemu ya kita pulang" katanya.


Sebenarnya, saya sendiri juga gak terlalu bernafsu untuk main kesana, mungkin karena rasa ngantuk yang mulai menggelayuti mata mengingat sejak hari pertama ngetrip, tidur malam seolah didiskon paksa menjadi hanya beberapa jam saja atau mungkin juga karena lelah setelah berburu blue fire di kawah Ijen dini hari tadi (cerita lengkapnya disini), yang jelas kalaupun si air terjunnya gak ketemu, saya gak terlalu kecewa. Tapi dasar rejeki anak sholeh, Gazza yang memutuskan untuk bertanya kepada seorang bapak di pinggir jalan ternyata mendapatkan jawaban yang memuaskan, "ituuu di depan pintu masuknya, Sudah dekat" jawab si bapak. Dengan muka berseri-seri, anak ini langsung memacu motornya dengan semangat.

Benar saja, tidak sampai lima menit, kami melihat papan penunjuk bertuliskan "air terjun kethegan". Segera kami tepikan motor ke sebuah rumah yang sepertinya merangkap sebagai tempat parkir. Melihat tempat parkir yang seadanya, papan penunjuk jalan yang minim plus belum adanya loket masuk (kami hanya dimintai uang parkir tiga ribu rupiah/motor), analisa saya adalah air terjun ini merupakan objek wisata baru yang pengelolaannya masih belum diambil oleh pemerintah daerah setempat.

Gazza dan Ijul yang tergabung ke dalam ATFC ( Air Terjun Fans Club) Haha
Dari rumah di tepi jalan tadi, untuk menuju air terjunnya, kami harus berjalan menuruni undakan tanah yang dibuat seperti tangga oleh penduduk setempat. Tadinya saya sempat ingin menyerah mengingat lutut yang mulai ngilu efek dari menuruni track Kawah Ijen pagi tadi, cuma ngeliat Gazza dan Ijul yang berlarian menuruni undakan layaknya seorang anak kecil yang melihat mainan baru, membuat saya sedikit banyak terpengaruh. Dengan sisa tenaga dan kapasitas mata yang tinggal 5 watt, saya menuruni undakan yang persis berada di dalam hutan ini. Bunyi gemuruh air yang terdengar pertanda jarak menuju air terjun tidak seberapa jauh.

Secara garis besar, di tempat ini ada empat air terjun yang berada di dua lokasi yang jaraknya tidak seberapa jauh. Undakan ke arah kanan adalah lokasi dari tiga air tejun yaiitu Air Terjun Sumber Buyet, Sumber Pawon dan Sumber Jagir. Sementara undakan yang mengarah ke kiri adalah lokasi dari air terjun Kethegan. Kami memutuskan untuk mengambil arah ke kanan terlebih dahulu.

Beberapa menit kemudian saya pun sampai di air terjun yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan sebutan air terjun bersaudara karena letak dari tiga air terjun tersebut sangat berdekatan. Ketika saya masih mematung sambil memikirkan mau menghampiri air terjunnya lebih dekat atau tidak, Gazza malah udah lari sana lari sini, sibuk memotret air terjun dari berbagai angle. Sementara Aisyah, Udjo dan Ugi asik nongkrong di warung yang letaknya hanya beberapa meter dari air terjun. Suasana air terjun sore itu cukup ramai ditandai dengan banyaknya pengunjung yang berenang-renang di sekitar air terjun

Kami sore itu :)
Ini air terjun yang pertama dan yang kedua
Air terjun ketiga (agak naik sedikit dari air terjun tadi)
yang ini maap ada modelnya haha.. yang foto  air terjunnya aja gak ada ternyata

Menuju air terjun berikutnya, yaitu air terjun kethegan ternyata memerlukan usaha yang lebih dibandingkan yang sebelumnya. Jika tadi hanya perlu menuruni undakan kurang dari lima menit, kali ini, saya, Gazza dan Ijul harus menyusuri jalanan setapak yang berada di tepian sungai. beberapa kali malah kami harus menyebrangi titian batu di sungai. Sementara, yang lainnya, yaitu Aisyah, Ugi dan Udjo memilih langsung kembali ke parkiran motor untuk beristirahat.

Jalanan menuju Air terjun Kethegan sangat sepi, jauh berbeda dengan air terjun bersaudara. Tidak adanya pengunjung lain yang berjalan bersama kami serta tidak terdengarnya gemuruh air terjun menandakan lokasi yang kami tuju sedikit lebih jauh dibandingkan lokasi yang pertama. Gazza dan Ijul yang keliatannya sama-sama penggila air terjun berjalan cepat jauh di depan saya, lupa kalau yang dibawanya adalah perempuan yang gak punya pakaian ganti lagi jika jatuh di sungai. "Jul, tungguin gue kenapaaaaa" rengek saya setiap kali jalanan setapak berubah menjadi titian batu kali. Ijul malah cengesan sambil memasang muka yang minta disambit, "bu haji jalannya lama sih".

Sepinya jalur menuju Air Terjun Kethegan
sepi kan?
Sekitar 15 menit-an berjalan kaki menyusuri sungai kecil, kami sampai di air terjun kethegan, Karena dikelilingi oleh tebing, air terjun kethegan keliatan lebih gelap dan eksotik dengan aliran air yang terjun langsung ke bawah tanpa mengenai dinding tebing atau bebatuan seperti air terjun sebelumnya. Belum lagi rongga-rongga di tebing sekitar air terjun menambah kesan antik tersendiri. Saya yang pada dasarnya gak suka objek wisata yang terlalu ramai, jelas jatuh  cinta pada kesyahduan air terjun kethegan ini.

gelap dan eksotik
berasa air terjun pribadi
Berbanding terbalik dengan air terjun bersaudara yang ramai dikunjungi wisatawan lokal, air terjun kethegan ini jauh lebih sepi. bahkan ketika kami tiba disini, hanya ada dua orang anak perempuan yang usianya belasan tahun, itupun mereka sudah beranjak pulang. Praktis di air terjun ini tinggal saya, Gazza, Ijul dan nyamuk. Iya, Nyamuk disini cukup banyak dan berukuran jumbo! Selesai menikmati air terjun kethegan untuk beberapa saat, kami bertiga bergegas menyusuri jalan pulang kembali ke tempat parkir motor dimana Aisyah ternyata sudah menunggu kami dengan satu plastik bakwan hangat. Benar-benar ibunya anak-anak :D

Setelah panen air terjun empat biji sekaligus di Kampung Anyar, liburan di Banyuwangi selesai dengan sempurna. Selanjutnya kami pun beranjak pulang setelah sebelumnya mampir ke bengkel untuk tune up para motor yang akan membawa kami pulang ke Jakarta. Mmm.. harus duduk lagi ya selama dua hari dua malem di atas motor? *nelen ludah*


Wednesday, May 18, 2016

Bikepacker ke Banyuwangi Part5: Berburu Blue Fire di Kawah Ijen

Dini hari, rombongan kami yang sekarang jumlahnya menjadi 10 orang (tambahan 2 orang dari Surabaya dan 2 orang kenalan baru dari Jakarta) meninggalkan pos bayangan menuju Pos Paltuding yang merupakan pintu masuk menuju Kawah Ijen. Motor kami beriring-iringan dengan puluhan mobil yang juga memiliki tujuan yang sama. Beberapa mobil mulai mengeluarkan bau amplas kopling yang khas, pertanda mereka cukup kepayahan melewati jalanan yang didominasi oleh tanjakan berliku ini.

Suasana di Pos Paltuding alias pos masuk Kawah Ijen luar biasa ramai. Tumpukan manusia tersebar di setiap sudut mata saya memandang belum lagi puluhan tenda yang berdiri di lapangan rumput yang dekat dengan area parkir. Segera saya menuju loket masuk untuk membeli karcis. begitu saya sampai, pintu loket dijubeli ratusan orang yang sepertinya lupa bagaimana caranya untuk antri. Tidak ada barisan antrian yang jelas, semua orang menumpuk di depan pintu loket yang lebarnya cuma cukup untuk menjulurkan tangan ke arah petugas. Dalam kondisi seperti ini, saya memutar otak. Dari arah samping pintu loket, saya mendekati seorang pria yang berada persis di depan loket masuk kemudian menepuk bahunya.
"Mas, mau beli tiket ya?" sebaris pertanyaan paling absurd terlontar dari mulut saya. Si mas-mas yang saya tanya, memandang dengan tatapan ya-kali-gue-mau-beli-gorengan-ya-iyalah-gue-mau-beli-tiket. Dikasih tatapan aneh begitu, saya cuma bisa cengengesan. "Anu mas, boleh nitip sekalian gak? 10tikeeeeet aja mas", pinta saya sambil menyodorkan pecahan uang 100ribu-an. Untungnya si mas-mas cukup baik hati dan tidak sombong serta taat pada pancasila dan undang-undang dasar empat lima, maka tanpa harus mengantri susah payah, 10 tiket berhasil saya dapatkan. Cihuy! Saya langsung menuju ke tempat dimana kami akan dibriefing singkat sebelum trekking dimulai.

"Mbak-mbak dan mas-mas sekalian, nama saya Kasim (samaran*). jadi nanti kalau kepisah, tanya aja Kasim ya, pasti kenal" guide yang kami sewa dibawah memulai briefing dengan perkenalan singkat, "kalau yang ini namanya Aris". Seorang pria berkupluk tersenyum begitu namanya disebutkan. "Saya cuma pesan satu" lanjutnya, "Nanti kalau papasan dengan para penambang, menepi ke arah yang paling jauh dengan jurang. Oke?!"

Di tengah-tengah briefing, saya menyadari sesuatu, "Ini kenapa banyak banget orang yang dibriefing? perasaan rombongan gue cuma 10 orang", batin saya dalam hati. Usut punya usut ternyata rombongan kami digabung dengan rombongan lainnya! OH.. JADI INI YANG DIA BILANG SATU GUIDE MAKSIMAL LIMA ORANG?? *seketika kepingin lempar bakiak*

Menghilangkan rasa gondok di hati, saya berjalan lebih dulu dibanding teman-teman yang lainnya. Dengan berbekal cahaya senter dari pengunjung lainnya, saya menyusuri jalur menuju Kawah Ijen yang kanan kirinya ditumbuhi tanaman perdu berbunga putih. Setelah melewati beberapa tanjakan, saya menghentikan langkah kemudian mencoba mengatur nafas yang mulai tersengal-sengal. Lintasan menuju Kawah Ijen yang memiliki kemiringan mencapai 40 derajat membuat siapa saja, terutama yang sudah terbiasa jalan di Mall (seperti saya hahaha) akan kewalahan beradaptasi dengan gaya gravitasi yang menguras tenaga. Setelah detak jantung kembali ke ritmenya yang normal, saya celingukan di tengah kegelapan, berusaha mengenali wajah kelima teman saya di antara ratusan orang pengunjung yang sama-sama memadati lintasan. Dari kejauhan, cahaya senter yang dibawa oleh mereka tampak seperti ratusan kunang-kunang yang berbaris. 


Antrian pengunjung di lintasan menuju Kawah Ijen yang lebarnya gak sampe 2 meter

Saya menyalakan Casio merah yang saya kenakan, pukul dua lewat sepuluh menit, "Masih ada banyak waktu", gumam saya dalam hati. Maka saya pun duduk di sebuah batu besar di tepi lintasan, menunggu teman-teman saya sambil menikmati pertunjukan kerlap kerlip bintang yang jumlahnya ribuan di atas sana. Trekking malam hari memang menyenangkan! Selain lebih optimis karena terjalnya lintasan tidak terlihat, kita juga bisa menikmati langit tanpa polusi cahaya. Tau kan? salah satu alasan kenapa bintang di langit perkotaan sinarnya gak begitu terlihat adalah karena polusi cahaya. Cahaya bintang menjadi kalah saing dengan artificial light alias cahaya buatan manusia seperti lampu sorot yang dipasang pada reklame, poster, kantor, mall dan industri lainnya yang biasa berada di pusat kota. 

"yoo yang rombongan Kasim, rombongan Kasim!" tiba-tiba saya mendengar teriakan guide yang kami sewa ditengah suara keramaian pengunjung. Seperti anak kecil yang kembali menemukan induknya, saya  berdiri kemudian teriak kegirangan sambil melambaikan tangan, "iya saya, saya!"
"owalah mbak udah disini tho" ucap mas Aris sambil menyorotkan senter ke wajah saya, Saya cengengesan. "ayok yang lain istirahat dulu, di depan makin terjal" sambungnya lagi.

Sambil beristirahat, Mas Aris yang jika bukan di musim liburan berprofesi sebagai penambang belerang, banyak bercerita tentang perjalanan Kawah Ijen menjadi objek wisata yang cukup terkenal di Jawa Timur, "Dulu mbak, kita penambang itu udah biasa ngeliat Blue Fire. Kita gak ada kepikiran kalau orang bakal banyak kesini cuma mau ngeliat itu" katanya sambil tertawa kecil.

Bagi penambang, fenomena Blue Fire yang mereka lihat sehari-hari mungkin merupakan hal yang biasa, tapi bagi sebagian orang lainnya, fenomena Blue Fire menjadi daya tarik scientific tersendiri. Secara ilmiah, kilauan berwarna biru pada keluaran gunung berapi memang sesuatu yang istimewa karena biasanya, keluaran gas dan muatan dari gunung berapi berwarna merah terang atau oranye. Fenomena blue fire hanya terjadi JIKA gas yang keluar dari celah gunung berapi mengandung muatan belerang dalam jumlah yang besar.  Ketika gas tersebut kontak dengan oksigen yang ada di udara dan terkena percikan dari lava, maka belerang yang terkandung di dalamnya pun terbakar sehingga menimbulkan warna biru electrik. Dari banyak gunung berapi di Indonesia (bahkan konon dunia), hanya Kawah Ijen yang memiliki fenomena Blue Fire. Rasanya, fakta ilmiah ini yang membuat banyak turis mancanegara rela menempuh ribuan kilometer dari negaranya untuk datang ke tempat ini.

Balik lagi ke lintasan, setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan memuju Kawah Ijen, kurang lebih dua jam kami sampai di punggungan Kawah Ijen. Gas belerang semakin kuat tercium. "yang mau turun ke Kawah, silahkan dipakai maskernya!" aba-aba dari mas Kasim, "Bagi yang gak kuat, gak usah turun, tunggu disini saja, jalanan ke bawah lumayan, hampir satu kilo dan sangat curam" tambahnya lagi.

Sambil sibuk mengeluarkan masker gas dari dalam ransel yang ia bawa, mas Kasim bertanya dengan suara yang mulai serak, "Berapa orang yang mau turun kebawah?!" Saya mengacungkan tangan ke udara dengan penuh semangat, begitu juga beberapa teman saya yang lain. Kemudian dengan didampingi oleh seorang penambang (sebut saja Pak Marno), kami pun mulai menuruni lintasan curam yang sepenuhnya tersusun dari bebatuan besar, persis seperti jalur turun dari puncak gunung Merbabu.

Saya dan masker gas di lintasan menuju Kawah Ijen

Dengan banyaknya pengunjung pagi dini hari itu, perjalanan turun kebawah menjadi antrian yang cukup melelahkan. karena lintasan ini sangat sempit, maksimal hanya bisa dilalui oleh dua orang secara bersamaan sementara sisi kanannya adalah jurang berbatu, sehingga tidak jarang kami harus menunggu giliran untuk melangkah.

"BERHENTI DULU MBAK!" teriakan Pak Marno sontak membuat saya terkejut. Melihat wajah saya yang bertanya-tanya, Pak Marno menunjuk sesosok pria paruh baya yang berjalan tergopoh-gopoh menaiki lintasan, "ada penambang mbak. Biarin dia lewat dulu" ucapnya pelan. Saya terpaku, mematung. Dalam keremangan cahaya, lelaki itu menaiki batu-demi batu dengan langkah kecil sambil mencoba menyeimbangkan dua buah keranjang bambu berisi belerang padat yang ia pikul dengan menggunakan sebilah kayu di pundaknya. Seluruh urat yang ada di lengannya tampak menyembul keluar, pertanda beban yang ia bawa teramat berat. Sarung bermotif garis menutupi hidung dan mulutnya, sebuah cara yang sebenarnya tidak cukup ampuh untuk mencegah gas sulfur dioxide masuk ke dalam paru-parunya.

"Dia itu gagu mbak, gak bisa ngomong dari kecil. Tapi sama dengan penambang yang lainnya, sekali angkut dia bisa bawa 80 sampai 100 kilo".  Saya bertanya setengah berbisik "sekilo dihargain berapa pak?" Pak Marno tersenyum kemudian menjawab dengan raut wajah yang tidak bisa saya deskripsikan, "900 perak mbak". Saya menelan ludah, getir, membayangkan pilihan pekerjaan yang upahnya tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Hidup itu pilihan, katanya. Tetapi bagi banyak orang yang memiliki keterbatasan, pilihan itu mungkin sebuah kemewahan yang tidak mampu mereka miliki.

Kemudian saya mencoba berbicara dengan diri sendiri, "tujuh puluh ribu ya?". Jurang perbedaan tujuh puluh ribu diantara bapak itu dengan kebanyakan dari kita ternyata sangat lebar. Tujuh puluh ribu untuk tenaga yang terkuras habis plus luka memar di pundak dengan tujuh puluh ribu yang sebegitu mudahnya kita habiskan hanya untuk sekali nongkrong di kedai kopi atau di restoran cepat saji.

"ayo mbak, lanjut lagi, jangan ngelamun" ajak Pak Marno. Saya mengusap mata saya yang tiba-tiba brebes milih.  Dengan tergesa-gesa, saya menyusul langkah kaki pak Marno. Semakin menuruni lintasan, semakin dekat dengan kawah, semakin kuat pula bau belerang yang tercium, saya segera memakai kembali masker gas yang sempat saya lepas di tengah jalan. Untungnya, tidak berapa lama kemudian, mata saya menangkap kilauan biru yang menyala-nyala dalam kegelapan, BLUE FIRE!

That BLUE FIRE
Biru  Elektrik yang nyentrik!

Di tengah puluhan bunyi kamera yang berasal dari sekian banyak pengunjung, saya jadi berfikir tentang kegiatan berburu Blue, bagi ilmuwan berburu Blue Fire menjadi kegiatan imiah untuk mengupas reaksi gabungan antara mineral, oksigen, suhu dan tekanan yang tinggi, sedangkan bagi wisatawan, berburu Blue Fire menjadi sebuah kegiatan untuk menunjukkan eksistensi dirinya di sosial media, sementara bagi saya pagi itu, berburu Blue Fire adalah sebuah sentilan hebat betapa saya sering lupa caranya bersyukur.


Punggungan Kawah Ijen
Pengunjung yang memadati punggungan Kawah Ijen
Keranjang Penambang Belerang
Antrian pulang
Pemandangan sepanjang jalur
Biar gak dikira HOAX *eh

Apakah perjalanan di Banyuwangi resmi berakhir sepulangnya dari Kawah Ijen? ternyata belum! Pantengin part selanjutnya ya!





Sunday, May 15, 2016

Bikepacker ke Banyuwangi part4: Plat B dan Jebakan Batman di Pos Bayangan Kawah Ijen!

Pukul lima sore selesai sesi snorkeling di Pulau Menjangan, setelah agak cakepan dikit karena mandi dan ganti baju, kami meninggalkan Pantai Watu Dodol menuju Kecamatan Licin, Banyuwangi, tempat yang akan menjadi starting point untuk mendaki Kawah Ijen. Motor kami beriring-iringan menembus kemacetan di sekitar pintu masuk pelabuhan Ketapang. Kemacetan akibat antrian bis-bis yang akan menyebrang ke pulau dewata ini diperparah dengan beberapa perbaikan jalan dan gorong-gorong yang memakan hampir separuh jalur. Di atas motor, saya jadi berfikir satu hal, meskipun perjalanan menggunakan motor dari Jakarta ke Banyuwangi luar biasa edan capeknya, tapi begitu sampai di kota tujuan, berpindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya menjadi sangat mudah. Sekali lagi, ladies and gentlemen, ini yang namanya blessing in disguise. 

Perjalanan menuju kaki gunung Ijen di warnai dengan gerimis mengundang, sementara semakin jauh motor melaju menuju kaki Gunung Ijen, kontur jalanan semakin menanjak, khas jalanan ala pegunungan lengkap dengan kabut tipis yang mulai turun. Menjelang magrib, motor kami diberhentikan oleh dua orang berseragam hijau yang keluar dari sebuah pos di tepi jalan.

"berhenti dulu mas, menepi dulu mas" seorang bapak berkumis lebat memberi aba-aba agar kami tidak berhenti di tengah jalan dan menepikan motor di area parkir yang telah mereka sediakan. Turun dari motor, saya menghampiri si bapak yang tadi menghadang kami di tengah jalan. 
"ada apa ya pak??" tanya saya sopan. 
"disini bayar tiga ribu per orang mbak" 
"oooh" kata saya lagi. "ini loket ke kawah ijennya disini pak?" tanya saya polos.
"Jadi gini mbak" katanya sambil menunjukkan karcis yang diatasnya tertera tulisan tiga ribu rupiah. "Ini tiket masuk jalur menuju ke pos Kawah Ijen, bukan tiket masuk ke kawah ijen".
"ooh, jadi di atas bayar lagi gitu?" 
"Ini termasuk asuransi lho. Gini mbak, dari sini ke loket diatas itu masih 17kilo lagi. Jalanannya njelimet, banyak kecelakaan. Sekarang apa sih artinya uang tiga ribu kalau dibanding dengan keselamatan mbak?" Saya mengernyitkan dahi. Penjelasan si bapak kedengeran seperti sebuah intimidasi psikologis di telinga saya. 

Tanpa mau memperpanjang urusan, tiket masuk ke jalur menuju pos Kawah Ijen akhirnya kami bayar. Urusan pertama selesai, sekarang tinggal urusan penginapan. Niat semula untuk tidur lebih beradab dengan mencari penginapan di sekitar Desa Licin gagal total karena kami tidak menemukan rumah satupun yang ada tulisan "penginapan". Saya pun menanyakan tentang penginapan di sekitar pos yang bisa disewa.

"oo ada mbak, kalau mbak mau bermalam di penginapan kami bisa carikan, tapi ini bukan penginapan lho, cuma rumah penambang yang bisa disewa"
"gak papa pak, berapa sewanya ya pak?" tanya saya sambil ngebayangin enaknya tiduran di atas kasur. "200 ribu mbak" jawab si bapak kalem. 
"dua ratus ribu itu se- apa pak?" tanya saya mencoba memperjelas informasi.
"sekamar mbak" jawab si bapak mantap.

Astaga naga ada lima... 200ribu?? seriusan?? penginapan yang biasa saya datangi di Malioboro yang notabene adalah pusat kota wisata aja gak sampai 100ribu semalam! Akhirnya dengan pertimbangan bahwa harganya terlalu mahal plus nanggung karena toh jam satu pagi, kami sudah harus trekking ke Kawah Ijen untuk berburu Blue Fire, maka kami memutuskan untuk bermalam di sebuah bangunan seperti pos ronda yang masih satu area dengan pos polisi hutan tadi. 

Kami segera menyusun tas dan mengatur posisi agar semua personel bisa meluruskan badan. Ugi yang memang keliatan paling ngantuk di antara kami, tanpa banyak basa-basi langsung ngegelosor di pojokan. Gak berapa lama dengkuran halusnya mulai terdengar. "kesian banget sih kita, ngenes banget" kata Gazza sambil menggelar sleeping bag yang ia bawa. Saya yang lagi mencari posisi tidur di sebelah Aisyah yang sudah lebih dulu pules, menimpali, "kesian gimana Ge?"
"iya, begini banget tidurnya dari kemaren" katanya.
"ini mah buat gue masih tergolong enak Ge"
"maksudnya?"
"iya" saya ketawa kecil lalu melanjutkan, "Ngegembel kayak apa yang belon pernah gue rasain," Saya terdiam sebentar teringat beberapa tahun lalu waktu jalan-jalannya masih model ekstrim. "Dari naik kereta batubara, numpang truk sapi, tidur di emperan terminal bis sampai tidur di penjara kantor polisi, gue udah ngerasain Ge. Ini mah itungannya masih enak kok, Nyantai aja" 

Iya. Saya adalah tipikal orang yang gak terlalu mempermasalahkan soal tidur dimana. Bagi saya, tidur bisa dimana saja. Saya masih ingat tahun 2012 di Desa Bremi, selesai mendaki Gunung dengan track paling panjang di Pulau Jawa, Gunung Argopuro (cerita lengkap pendakiannya disini), saya dan dua orang teman harus menunggu bis yang akan membawa kita ke terminal Probolinggo, apesnya bis itu hanya lewat dua kali dalam satu hari, jam 6 pagi dan jam 4 sore, sementara saat itu jam menunjukkan pukul lima sore.  Akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di teras kantor polisi. Ijin menginap sudah kami dapat, sleeping bag sudah kami gelar mengingat dinginnya udara di desa Bremi yang memang terletak di kaki gunung Argopuro, tiba-tiba ada polisi menghampiri kami, "mbak, ini maaf lho mbak" katanya sopan. "kalau mbak sama temen-temen gak keberatan, di dalam penjara lebih anget daripada di luar sini" Saya liat-liatan dengan kedua teman saya. "sekali lagi maaf lho mbak, hanya menawarkan saja, kebetulan sel nya sedang kosong" kata pak polisi lagi. Demi mendengar kata "hangat", tanpa babibu, saya langsung menggotong sleeping bag ke dalam ruang sel tahanan yang ukurannya kurang lebih 3x4 meter.  Tanpa terlalu memikirkan curhatan narapidana yang terukir di dinding sel tentang betapa kerasnya siksaan yang mereka jalani, saya tertidur pulas sampai pagi. Sekali lagi sodara-sodara, tidur bisa dimana saja.

Jadi.. menurut standart tempat tidur selama saya backpackeran, pos ronda yang memiliki atap plus selembar tikar yang siap pakai termasuk ukuran yang cukup lumayan lah. Maka, gak berapa lama setelah saya menemukan posisi yang enak, saya terlelap pulas di sebelah Aisyah.  Keberisikan oleh suara sekelompok pemuda yang menyanyikan lagu dangdut dengan volume membahana, saya terbangun pukul sebelas malam lewat sedikit. Sambil duduk memeluk siku saya melihat Gazza yang dihampiri dua orang dengan pertanyaan yang sama tentang berapa guide yang mau disewa oleh rombongan kami. Dari analisa saya, mereka pasti pemuda kampung sini karena mereka tidak memakai seragam polisi hutan seperti bapak-bapak yang ada di pos tadi. FYI, untuk satu guide mereka memasang tarif 150ribu. 

Ada sesuatu yang aneh dari statement orang ini, karena dari tadi saya perhatikan banyak orang yang selesai membayar tiket seharga tiga ribu, langsung bablas naik ke arah pos kawah Ijen tanpa disuruh pakai guide, kenapa rombongan kita dijadiin objek begini? Kemungkinan paling besarnya adalah karena plat motor kami B plus mungkin mereka menganggap kita gak lebih dari sekelompok anak yang baru kenal jalan-jalan. 

Merasa ada yang gak beres, saya ikutan nimbrung. "satu aja Ge, kita kan gak banyak juga rombongannya, paling cuma berdelapan sama yang nanti gabung dari Surabaya kan?" timpal saya.
"tapi mbak disini peraturannya satu orang guide cuma untuk lima orang, kalau lebih berarti harus dua guide" si mas-mas dari antah berantah tadi menimpali ucapan saya. "Mana peraturannya? ada? saya mau liat coba!" jawab saya ketus. Ditanya soal peraturan tertulis tentang satu guide sama dengan lima orang pengunjung, si mas yang dari mulutnya samar-samar tercium bau alkohol ini mulai mengalihkan topik, "nanti kalau satu guide lebih dari lima orang, kita yang kena denda mbak" 

Oke. Ini lebih gak masuk akal lagi. Males ribut, saya keukeh cuma mau satu guide. Tadinya malah saya pikir its okay kalau gak pake guide dengan alasan di atas sana pasti ramai orang, tapi karena pertimbangan rasa aman secara psikologis, one guide is still fine for me. "Tapi nanti kalau diatas dikenakan denda, mbak yang bayar ya" tambah si mas-mas antah berantah tadi. Saya mengacungkan jempol tanpa banyak bicara. 

Saya masih gak habis fikir tentang peraturan tadi karena well.. gunung yang beneran gunung dengan track curam bercabang-cabang dan kemungkinan tersesat jauh lebih besar saja gak ada kewajiban untuk satu guide sama dengan lima orang, apalagi disini yang notabene jalur menuju kawahnya cuma ada satu, dan percayalah di tengah musim liburan ini, saya berani bertaruh ada ribuan orang diatas sana dengan tujuan yang sama. Cant we just walk together with them? 

Masih ngerasa agak keki, tiba-tiba mas antah berantah tadi kembali lagi. "apalagi sekarang?" batin saya dalam hati. "ini mbak, sekalian sewa masker gasnya. Kalau mau turun ke kawahnya lihat blue fire harus pake masker mbak. Diatas ada sih yang menyewakan tapi disini lebih murah. kalau diatas harganya 30ribu, di kita 25ribu aja". Jelasnya panjang lebar. Ini lumayan masuk akal karena Kawah Ijen memang terkenal dengan gas belerangnya yang menyengat. Maka kami pun menyewa masker gas sebanyak 6 buah. 

Merasa masih ada cukup waktu sebelum memulai trekking tepat jam satu pagi nanti, kami menghabiskan waktu di warung yang letaknya hanya beberapa meter dari pos tempat kami tidur. Semangkuk mie rebus dan segelas teh hangat menjadi menu andalan malam itu.



bagaimana kelanjutan cerita perburuan blue fire kami?
benarkah ada peraturan yang menyebutkan satu guide sama dengan lima pengunjung?
lalu ada apa dengan saya sampai menangis di jalur turun ke kawah?

Semua ada di part 5. Pantengin terus yak!


Saturday, May 14, 2016

Bikepacker ke Banyuwangi Part3: Dunia Bawah Laut di Pulau Menjangan!

Saya duduk diam tersenyum-senyum simpul sambil menikmati angin laut yang perlahan berhembus . Dagu saya menempel pada sisi kapal yang tingginya sesiku orang dewasa, Sesekali saya berusaha meraih air laut dari atas kapal kayu yang membawa kami dari Pantai Watu Dodol menuju Pulau Menjangan yang merupakan kawasan Taman Nasional Bali Barat. Iya. Setelah perjalanan Jakarta-Banyuwangi berdurasi nyaris 40 jam dengan menggunakan motor, yang capeknya setara dengan diklat para pendekar, kombinasi antara air laut, langit biru dan semilir angin adalah obat yang paling mujarab. 

40 Jam di atas motor dibayar LUNAS dengan pemandangan kayak gini!

Saya memperhatikan  seisi kapal. Selain rombongan kami, karena ini adalah kelas sharing boat, ada satu rombongan lain yang sama-sama menaiki kapal kami. Mereka sibuk bercanda satu sama lain. Sementara di sebelah saya Aisyah tertidur dengan pulas, Ugi dan mas Udjo yang aslinya memang pendiem, memandang laut tanpa banyak bicara. Gazza dan Ijul? dua manusia ajaib ini lagi ribet dengan kamera action. 

"Di, poto gue dong" Ijul udah pasang gaya dengan safety jacketnya yang berwarna pink. Saya juga gak ngerti kenapa dia milih warna pink. Mungkin biar keliatan lebih feminim hahaha. "Ntar dulu, ini lagi di charge". Gazza yang lagi sibuk ngebongkar casing underwater camera actionnya menjawab tanpa menoleh ke arah Ijul. "bentar doang Di, satu poto.. satu poto". kata Ijul lagi. Saya yang awalnya cuma ngeliatin kelakuan mereka, jadi ikut-ikutan, "Ge, gue juga dong, satu poto"  tukas saya sambil nyengir kuda.

Gazza nyerah dengan kenarsisan sepupunya yang satu ini
Fotonya rame-rame, biar adil katanya
Setelah menyebrang selama kurang lebih satu jam dari Pantai Watu Dodol, sekitar pukul 10 pagi, kapal yang kami naiki merapat di dermaga Pulau Menjangan. Dibilang dermaga juga sebenernya lebih mirip seperti jembatan kayu yang tidak seberapa panjang. Di ujung jembatan ini, ada gapura dengan gaya khas Bali yang bertuliskan "selamat datang di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat"


Gazza dan kamera actionnya yang kekinian
"Mbaknya boleh jalan-jalan dulu di pulau nanti abis itu baru kita snorkeling" kata guidenya sambil menambatkan tambang kapal di salah satu tiang  jembatan kayu. Tadinya saya berharap bisa eksplor sampai ke bagian dalam pulau yang menjadi Taman Nasional ini, tapi berhubung guidenya belum pernah trekking jauh kedalam PLUS kemampuan saya membaca arah cuma sekelas anak TK,  jadilah saya cuma berjalan-jalan kecil di sekitar pantai. Agak kecewa sebenernya, secara saya udah ngebayangin bakal ketemu kumpulan Menjangan (kijang) atau paling gak hewan apalah gitu yang dikonservasi disini.

Tepat setelah gapura selamat datang tadi, ada beberapa bangunan milik polisi hutan yang berbentuk seperti rumah panggung. Analisa yang paling masuk akal mengapa desainnya berbentuk rumah panggung adalah menghindari gangguan hewan, khususnya di malam hari. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah kalau hewannya bisa naik tangga gimana? :D


Menyusuri jalan dari gapura ke arah kiri, kita bisa melihat dataran pasir putih yang menjorok ke luar pantai, persis seperti daerah gosong yang pernah saya lihat di Kepulauan Seribu. Di bibir pantainya ada sisa-sisa api unggun, mungkin bekas tamu yang camping disini. Beberapa sisa-sisa bakaran sampah seperti potongan plastik atau botol air mineral berserakan di pasir yang warnanya putih kecokelatan. Sekali lagi, masih banyak yang gak mengerti tentang ungkapan leave nothing but footprints, take nothing but pictures.



Setelah keliling-keliling sebentar, si abang guide memberi kode untuk kembali menaiki kapal karena sesi snorkeling segera dimulai. Saya yang dari kemarin belum mandi *nyengir* jelas semangat luar biasa begitu ngedenger aba-aba dari abang guide untuk nyemplung ke laut.

Ikannya belum pada pulang sekolah
kalau yang ini ikan pemakan segalanya (saya)
Kamu lagi ngapain hayooo?
Lagi reunian
Meskipun karang dan ikannya kurang berwarna-warni, tapi di spot terakhir, ada beberapa nemo yang tertangkap kamera. Cuteness overload! Saya gak bisa membayangkan, snorkeling aja udah sekece ini, gimana diving? Kabarnya di kedalaman 20 meter ke bawah sana, Wall Diving di Pulau Menjangan termasuk kedalam salah satu wall terbaik di dunia dengan biota laut yang lengkap mulai dari terumbu karang aneka rupa, jackfish, penyu laut bahkan ikan hiu. *Eng.. hiu ya.. hmm*


Setelah berjam-jam main snorkeling, keselek air laut, tangan keriput saking kelamaan berendem di air tapi seneng luar biasa, akhirnya selepas ashar, kapal berlayar pulang ke Banyuwangi. Saya tertidur pulas dengan safety jacket sebagai bantal sampai kapal hampir merapat di Pantai Watu Dodol. Waktu menunjukkan pukul lima sore itu. Setelah bersih-bersih dan re-packing keril, kami tidak bisa berlama-lama disini karena perjalanan masih akan berlanjut ke kaki gunung Ijen untuk seterusnya berburu blue fire di Kawah Ijen dini hari nanti.


Gimana suka dukanya kita ketika berburu bluefire?
tunggu part4 nya ya ^^





FYI
*cost menyebrang di Pulau Menjangan 200rb/orang (sharing boat) including penyebrangan dari Pantai Watu Dodol, Banyuwangi ke Pulau Menjangan PP, tiket masuk pulau, safety jacket, seperangkat alat snorkeling, snack dan makan siang, air mineral dan tiga spot snorkeling. Penyebrangan dikelola oleh Bangsring Boat ( Cp :082312990888). Pastikan booking terlebih dahulu yaa jika datang di wiken/libur panjang.

Bikepacker ke Banyuwangi Part3: Dunia Bawah Laut di Pulau Menjangan!

Saya duduk diam tersenyum-senyum simpul sambil menikmati angin laut yang perlahan berhembus . Dagu saya menempel pada sisi kapal yang tingginya sesiku orang dewasa, Sesekali saya berusaha meraih air laut dari atas kapal kayu yang membawa kami dari Pantai Watu Dodol menuju Pulau Menjangan yang merupakan kawasan Taman Nasional Bali Barat. Iya. Setelah perjalanan Jakarta-Banyuwangi berdurasi nyaris 40 jam dengan menggunakan motor, yang capeknya setara dengan diklat para pendekar, kombinasi antara air laut, langit biru dan semilir angin adalah obat yang paling mujarab. 

40 Jam di atas motor dibayar LUNAS dengan pemandangan kayak gini!

Saya memperhatikan  seisi kapal. Selain rombongan kami, karena ini adalah kelas sharing boat, ada satu rombongan lain yang sama-sama menaiki kapal kami. Mereka sibuk bercanda satu sama lain. Sementara di sebelah saya Aisyah tertidur dengan pulas, Ugi dan mas Udjo yang aslinya memang pendiem, memandang laut tanpa banyak bicara. Gazza dan Ijul? dua manusia ajaib ini lagi ribet dengan kamera action. 

"Di, poto gue dong" Ijul udah pasang gaya dengan safety jacketnya yang berwarna pink. Saya juga gak ngerti kenapa dia milih warna pink. Mungkin biar keliatan lebih feminim hahaha. "Ntar dulu, ini lagi di charge". Gazza yang lagi sibuk ngebongkar casing underwater camera actionnya menjawab tanpa menoleh ke arah Ijul. "bentar doang Di, satu poto.. satu poto". kata Ijul lagi. Saya yang awalnya cuma ngeliatin kelakuan mereka, jadi ikut-ikutan, "Ge, gue juga dong, satu poto"  tukas saya sambil nyengir kuda.

Gazza nyerah dengan kenarsisan sepupunya yang satu ini
Fotonya rame-rame, biar adil katanya
Setelah menyebrang selama kurang lebih satu jam dari Pantai Watu Dodol, sekitar pukul 10 pagi, kapal yang kami naiki merapat di dermaga Pulau Menjangan. Dibilang dermaga juga sebenernya lebih mirip seperti jembatan kayu yang tidak seberapa panjang. Di ujung jembatan ini, ada gapura dengan gaya khas Bali yang bertuliskan "selamat datang di Pulau Menjangan, Taman Nasional Bali Barat"


Gazza dan kamera actionnya yang kekinian
"Mbaknya boleh jalan-jalan dulu di pulau nanti abis itu baru kita snorkeling" kata guidenya sambil menambatkan tambang kapal di salah satu tiang  jembatan kayu. Tadinya saya berharap bisa eksplor sampai ke bagian dalam pulau yang menjadi Taman Nasional ini, tapi berhubung guidenya belum pernah trekking jauh kedalam PLUS kemampuan saya membaca arah cuma sekelas anak TK,  jadilah saya cuma berjalan-jalan kecil di sekitar pantai. Agak kecewa sebenernya, secara saya udah ngebayangin bakal ketemu kumpulan Menjangan (kijang) atau paling gak hewan apalah gitu yang dikonservasi disini.

Tepat setelah gapura selamat datang tadi, ada beberapa bangunan milik polisi hutan yang berbentuk seperti rumah panggung. Analisa yang paling masuk akal mengapa desainnya berbentuk rumah panggung adalah menghindari gangguan hewan, khususnya di malam hari. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah kalau hewannya bisa naik tangga gimana? :D


Menyusuri jalan dari gapura ke arah kiri, kita bisa melihat dataran pasir putih yang menjorok ke luar pantai, persis seperti daerah gosong yang pernah saya lihat di Kepulauan Seribu. Di bibir pantainya ada sisa-sisa api unggun, mungkin bekas tamu yang camping disini. Beberapa sisa-sisa bakaran sampah seperti potongan plastik atau botol air mineral berserakan di pasir yang warnanya putih kecokelatan. Sekali lagi, masih banyak yang gak mengerti tentang ungkapan leave nothing but footprints, take nothing but pictures.



Setelah keliling-keliling sebentar, si abang guide memberi kode untuk kembali menaiki kapal karena sesi snorkeling segera dimulai. Saya yang dari kemarin belum mandi *nyengir* jelas semangat luar biasa begitu ngedenger aba-aba dari abang guide untuk nyemplung ke laut.

Ikannya belum pada pulang sekolah
kalau yang ini ikan pemakan segalanya (saya)
Kamu lagi ngapain hayooo?
Lagi reunian
Meskipun karang dan ikannya kurang berwarna-warni, tapi di spot terakhir, ada beberapa nemo yang tertangkap kamera. Cuteness overload! Saya gak bisa membayangkan, snorkeling aja udah sekece ini, gimana diving? Kabarnya di kedalaman 20 meter ke bawah sana, Wall Diving di Pulau Menjangan termasuk kedalam salah satu wall terbaik di dunia dengan biota laut yang lengkap mulai dari terumbu karang aneka rupa, jackfish, penyu laut bahkan ikan hiu. *Eng.. hiu ya.. hmm*


Setelah berjam-jam main snorkeling, keselek air laut, tangan keriput saking kelamaan berendem di air tapi seneng luar biasa, akhirnya selepas ashar, kapal berlayar pulang ke Banyuwangi. Saya tertidur pulas dengan safety jacket sebagai bantal sampai kapal hampir merapat di Pantai Watu Dodol. Waktu menunjukkan pukul lima sore itu. Setelah bersih-bersih dan re-packing keril, kami tidak bisa berlama-lama disini karena perjalanan masih akan berlanjut ke kaki gunung Ijen untuk seterusnya berburu blue fire di Kawah Ijen dini hari nanti.


Gimana suka dukanya kita ketika berburu bluefire?
tunggu part4 nya ya ^^





FYI
*cost menyebrang di Pulau Menjangan 200rb/orang (sharing boat) including penyebrangan dari Pantai Watu Dodol, Banyuwangi ke Pulau Menjangan PP, tiket masuk pulau, safety jacket, seperangkat alat snorkeling, snack dan makan siang, air mineral dan tiga spot snorkeling. Penyebrangan dikelola oleh Bangsring Boat ( Cp :082312990888). Pastikan booking terlebih dahulu yaa jika datang di wiken/libur panjang.