Wednesday, May 18, 2016

Bikepacker ke Banyuwangi Part5: Berburu Blue Fire di Kawah Ijen

Dini hari, rombongan kami yang sekarang jumlahnya menjadi 10 orang (tambahan 2 orang dari Surabaya dan 2 orang kenalan baru dari Jakarta) meninggalkan pos bayangan menuju Pos Paltuding yang merupakan pintu masuk menuju Kawah Ijen. Motor kami beriring-iringan dengan puluhan mobil yang juga memiliki tujuan yang sama. Beberapa mobil mulai mengeluarkan bau amplas kopling yang khas, pertanda mereka cukup kepayahan melewati jalanan yang didominasi oleh tanjakan berliku ini.

Suasana di Pos Paltuding alias pos masuk Kawah Ijen luar biasa ramai. Tumpukan manusia tersebar di setiap sudut mata saya memandang belum lagi puluhan tenda yang berdiri di lapangan rumput yang dekat dengan area parkir. Segera saya menuju loket masuk untuk membeli karcis. begitu saya sampai, pintu loket dijubeli ratusan orang yang sepertinya lupa bagaimana caranya untuk antri. Tidak ada barisan antrian yang jelas, semua orang menumpuk di depan pintu loket yang lebarnya cuma cukup untuk menjulurkan tangan ke arah petugas. Dalam kondisi seperti ini, saya memutar otak. Dari arah samping pintu loket, saya mendekati seorang pria yang berada persis di depan loket masuk kemudian menepuk bahunya.
"Mas, mau beli tiket ya?" sebaris pertanyaan paling absurd terlontar dari mulut saya. Si mas-mas yang saya tanya, memandang dengan tatapan ya-kali-gue-mau-beli-gorengan-ya-iyalah-gue-mau-beli-tiket. Dikasih tatapan aneh begitu, saya cuma bisa cengengesan. "Anu mas, boleh nitip sekalian gak? 10tikeeeeet aja mas", pinta saya sambil menyodorkan pecahan uang 100ribu-an. Untungnya si mas-mas cukup baik hati dan tidak sombong serta taat pada pancasila dan undang-undang dasar empat lima, maka tanpa harus mengantri susah payah, 10 tiket berhasil saya dapatkan. Cihuy! Saya langsung menuju ke tempat dimana kami akan dibriefing singkat sebelum trekking dimulai.

"Mbak-mbak dan mas-mas sekalian, nama saya Kasim (samaran*). jadi nanti kalau kepisah, tanya aja Kasim ya, pasti kenal" guide yang kami sewa dibawah memulai briefing dengan perkenalan singkat, "kalau yang ini namanya Aris". Seorang pria berkupluk tersenyum begitu namanya disebutkan. "Saya cuma pesan satu" lanjutnya, "Nanti kalau papasan dengan para penambang, menepi ke arah yang paling jauh dengan jurang. Oke?!"

Di tengah-tengah briefing, saya menyadari sesuatu, "Ini kenapa banyak banget orang yang dibriefing? perasaan rombongan gue cuma 10 orang", batin saya dalam hati. Usut punya usut ternyata rombongan kami digabung dengan rombongan lainnya! OH.. JADI INI YANG DIA BILANG SATU GUIDE MAKSIMAL LIMA ORANG?? *seketika kepingin lempar bakiak*

Menghilangkan rasa gondok di hati, saya berjalan lebih dulu dibanding teman-teman yang lainnya. Dengan berbekal cahaya senter dari pengunjung lainnya, saya menyusuri jalur menuju Kawah Ijen yang kanan kirinya ditumbuhi tanaman perdu berbunga putih. Setelah melewati beberapa tanjakan, saya menghentikan langkah kemudian mencoba mengatur nafas yang mulai tersengal-sengal. Lintasan menuju Kawah Ijen yang memiliki kemiringan mencapai 40 derajat membuat siapa saja, terutama yang sudah terbiasa jalan di Mall (seperti saya hahaha) akan kewalahan beradaptasi dengan gaya gravitasi yang menguras tenaga. Setelah detak jantung kembali ke ritmenya yang normal, saya celingukan di tengah kegelapan, berusaha mengenali wajah kelima teman saya di antara ratusan orang pengunjung yang sama-sama memadati lintasan. Dari kejauhan, cahaya senter yang dibawa oleh mereka tampak seperti ratusan kunang-kunang yang berbaris. 


Antrian pengunjung di lintasan menuju Kawah Ijen yang lebarnya gak sampe 2 meter

Saya menyalakan Casio merah yang saya kenakan, pukul dua lewat sepuluh menit, "Masih ada banyak waktu", gumam saya dalam hati. Maka saya pun duduk di sebuah batu besar di tepi lintasan, menunggu teman-teman saya sambil menikmati pertunjukan kerlap kerlip bintang yang jumlahnya ribuan di atas sana. Trekking malam hari memang menyenangkan! Selain lebih optimis karena terjalnya lintasan tidak terlihat, kita juga bisa menikmati langit tanpa polusi cahaya. Tau kan? salah satu alasan kenapa bintang di langit perkotaan sinarnya gak begitu terlihat adalah karena polusi cahaya. Cahaya bintang menjadi kalah saing dengan artificial light alias cahaya buatan manusia seperti lampu sorot yang dipasang pada reklame, poster, kantor, mall dan industri lainnya yang biasa berada di pusat kota. 

"yoo yang rombongan Kasim, rombongan Kasim!" tiba-tiba saya mendengar teriakan guide yang kami sewa ditengah suara keramaian pengunjung. Seperti anak kecil yang kembali menemukan induknya, saya  berdiri kemudian teriak kegirangan sambil melambaikan tangan, "iya saya, saya!"
"owalah mbak udah disini tho" ucap mas Aris sambil menyorotkan senter ke wajah saya, Saya cengengesan. "ayok yang lain istirahat dulu, di depan makin terjal" sambungnya lagi.

Sambil beristirahat, Mas Aris yang jika bukan di musim liburan berprofesi sebagai penambang belerang, banyak bercerita tentang perjalanan Kawah Ijen menjadi objek wisata yang cukup terkenal di Jawa Timur, "Dulu mbak, kita penambang itu udah biasa ngeliat Blue Fire. Kita gak ada kepikiran kalau orang bakal banyak kesini cuma mau ngeliat itu" katanya sambil tertawa kecil.

Bagi penambang, fenomena Blue Fire yang mereka lihat sehari-hari mungkin merupakan hal yang biasa, tapi bagi sebagian orang lainnya, fenomena Blue Fire menjadi daya tarik scientific tersendiri. Secara ilmiah, kilauan berwarna biru pada keluaran gunung berapi memang sesuatu yang istimewa karena biasanya, keluaran gas dan muatan dari gunung berapi berwarna merah terang atau oranye. Fenomena blue fire hanya terjadi JIKA gas yang keluar dari celah gunung berapi mengandung muatan belerang dalam jumlah yang besar.  Ketika gas tersebut kontak dengan oksigen yang ada di udara dan terkena percikan dari lava, maka belerang yang terkandung di dalamnya pun terbakar sehingga menimbulkan warna biru electrik. Dari banyak gunung berapi di Indonesia (bahkan konon dunia), hanya Kawah Ijen yang memiliki fenomena Blue Fire. Rasanya, fakta ilmiah ini yang membuat banyak turis mancanegara rela menempuh ribuan kilometer dari negaranya untuk datang ke tempat ini.

Balik lagi ke lintasan, setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan memuju Kawah Ijen, kurang lebih dua jam kami sampai di punggungan Kawah Ijen. Gas belerang semakin kuat tercium. "yang mau turun ke Kawah, silahkan dipakai maskernya!" aba-aba dari mas Kasim, "Bagi yang gak kuat, gak usah turun, tunggu disini saja, jalanan ke bawah lumayan, hampir satu kilo dan sangat curam" tambahnya lagi.

Sambil sibuk mengeluarkan masker gas dari dalam ransel yang ia bawa, mas Kasim bertanya dengan suara yang mulai serak, "Berapa orang yang mau turun kebawah?!" Saya mengacungkan tangan ke udara dengan penuh semangat, begitu juga beberapa teman saya yang lain. Kemudian dengan didampingi oleh seorang penambang (sebut saja Pak Marno), kami pun mulai menuruni lintasan curam yang sepenuhnya tersusun dari bebatuan besar, persis seperti jalur turun dari puncak gunung Merbabu.

Saya dan masker gas di lintasan menuju Kawah Ijen

Dengan banyaknya pengunjung pagi dini hari itu, perjalanan turun kebawah menjadi antrian yang cukup melelahkan. karena lintasan ini sangat sempit, maksimal hanya bisa dilalui oleh dua orang secara bersamaan sementara sisi kanannya adalah jurang berbatu, sehingga tidak jarang kami harus menunggu giliran untuk melangkah.

"BERHENTI DULU MBAK!" teriakan Pak Marno sontak membuat saya terkejut. Melihat wajah saya yang bertanya-tanya, Pak Marno menunjuk sesosok pria paruh baya yang berjalan tergopoh-gopoh menaiki lintasan, "ada penambang mbak. Biarin dia lewat dulu" ucapnya pelan. Saya terpaku, mematung. Dalam keremangan cahaya, lelaki itu menaiki batu-demi batu dengan langkah kecil sambil mencoba menyeimbangkan dua buah keranjang bambu berisi belerang padat yang ia pikul dengan menggunakan sebilah kayu di pundaknya. Seluruh urat yang ada di lengannya tampak menyembul keluar, pertanda beban yang ia bawa teramat berat. Sarung bermotif garis menutupi hidung dan mulutnya, sebuah cara yang sebenarnya tidak cukup ampuh untuk mencegah gas sulfur dioxide masuk ke dalam paru-parunya.

"Dia itu gagu mbak, gak bisa ngomong dari kecil. Tapi sama dengan penambang yang lainnya, sekali angkut dia bisa bawa 80 sampai 100 kilo".  Saya bertanya setengah berbisik "sekilo dihargain berapa pak?" Pak Marno tersenyum kemudian menjawab dengan raut wajah yang tidak bisa saya deskripsikan, "900 perak mbak". Saya menelan ludah, getir, membayangkan pilihan pekerjaan yang upahnya tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Hidup itu pilihan, katanya. Tetapi bagi banyak orang yang memiliki keterbatasan, pilihan itu mungkin sebuah kemewahan yang tidak mampu mereka miliki.

Kemudian saya mencoba berbicara dengan diri sendiri, "tujuh puluh ribu ya?". Jurang perbedaan tujuh puluh ribu diantara bapak itu dengan kebanyakan dari kita ternyata sangat lebar. Tujuh puluh ribu untuk tenaga yang terkuras habis plus luka memar di pundak dengan tujuh puluh ribu yang sebegitu mudahnya kita habiskan hanya untuk sekali nongkrong di kedai kopi atau di restoran cepat saji.

"ayo mbak, lanjut lagi, jangan ngelamun" ajak Pak Marno. Saya mengusap mata saya yang tiba-tiba brebes milih.  Dengan tergesa-gesa, saya menyusul langkah kaki pak Marno. Semakin menuruni lintasan, semakin dekat dengan kawah, semakin kuat pula bau belerang yang tercium, saya segera memakai kembali masker gas yang sempat saya lepas di tengah jalan. Untungnya, tidak berapa lama kemudian, mata saya menangkap kilauan biru yang menyala-nyala dalam kegelapan, BLUE FIRE!

That BLUE FIRE
Biru  Elektrik yang nyentrik!

Di tengah puluhan bunyi kamera yang berasal dari sekian banyak pengunjung, saya jadi berfikir tentang kegiatan berburu Blue, bagi ilmuwan berburu Blue Fire menjadi kegiatan imiah untuk mengupas reaksi gabungan antara mineral, oksigen, suhu dan tekanan yang tinggi, sedangkan bagi wisatawan, berburu Blue Fire menjadi sebuah kegiatan untuk menunjukkan eksistensi dirinya di sosial media, sementara bagi saya pagi itu, berburu Blue Fire adalah sebuah sentilan hebat betapa saya sering lupa caranya bersyukur.


Punggungan Kawah Ijen
Pengunjung yang memadati punggungan Kawah Ijen
Keranjang Penambang Belerang
Antrian pulang
Pemandangan sepanjang jalur
Biar gak dikira HOAX *eh

Apakah perjalanan di Banyuwangi resmi berakhir sepulangnya dari Kawah Ijen? ternyata belum! Pantengin part selanjutnya ya!





2 comments: