Sunday, May 15, 2016

Bikepacker ke Banyuwangi part4: Plat B dan Jebakan Batman di Pos Bayangan Kawah Ijen!

Pukul lima sore selesai sesi snorkeling di Pulau Menjangan, setelah agak cakepan dikit karena mandi dan ganti baju, kami meninggalkan Pantai Watu Dodol menuju Kecamatan Licin, Banyuwangi, tempat yang akan menjadi starting point untuk mendaki Kawah Ijen. Motor kami beriring-iringan menembus kemacetan di sekitar pintu masuk pelabuhan Ketapang. Kemacetan akibat antrian bis-bis yang akan menyebrang ke pulau dewata ini diperparah dengan beberapa perbaikan jalan dan gorong-gorong yang memakan hampir separuh jalur. Di atas motor, saya jadi berfikir satu hal, meskipun perjalanan menggunakan motor dari Jakarta ke Banyuwangi luar biasa edan capeknya, tapi begitu sampai di kota tujuan, berpindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya menjadi sangat mudah. Sekali lagi, ladies and gentlemen, ini yang namanya blessing in disguise. 

Perjalanan menuju kaki gunung Ijen di warnai dengan gerimis mengundang, sementara semakin jauh motor melaju menuju kaki Gunung Ijen, kontur jalanan semakin menanjak, khas jalanan ala pegunungan lengkap dengan kabut tipis yang mulai turun. Menjelang magrib, motor kami diberhentikan oleh dua orang berseragam hijau yang keluar dari sebuah pos di tepi jalan.

"berhenti dulu mas, menepi dulu mas" seorang bapak berkumis lebat memberi aba-aba agar kami tidak berhenti di tengah jalan dan menepikan motor di area parkir yang telah mereka sediakan. Turun dari motor, saya menghampiri si bapak yang tadi menghadang kami di tengah jalan. 
"ada apa ya pak??" tanya saya sopan. 
"disini bayar tiga ribu per orang mbak" 
"oooh" kata saya lagi. "ini loket ke kawah ijennya disini pak?" tanya saya polos.
"Jadi gini mbak" katanya sambil menunjukkan karcis yang diatasnya tertera tulisan tiga ribu rupiah. "Ini tiket masuk jalur menuju ke pos Kawah Ijen, bukan tiket masuk ke kawah ijen".
"ooh, jadi di atas bayar lagi gitu?" 
"Ini termasuk asuransi lho. Gini mbak, dari sini ke loket diatas itu masih 17kilo lagi. Jalanannya njelimet, banyak kecelakaan. Sekarang apa sih artinya uang tiga ribu kalau dibanding dengan keselamatan mbak?" Saya mengernyitkan dahi. Penjelasan si bapak kedengeran seperti sebuah intimidasi psikologis di telinga saya. 

Tanpa mau memperpanjang urusan, tiket masuk ke jalur menuju pos Kawah Ijen akhirnya kami bayar. Urusan pertama selesai, sekarang tinggal urusan penginapan. Niat semula untuk tidur lebih beradab dengan mencari penginapan di sekitar Desa Licin gagal total karena kami tidak menemukan rumah satupun yang ada tulisan "penginapan". Saya pun menanyakan tentang penginapan di sekitar pos yang bisa disewa.

"oo ada mbak, kalau mbak mau bermalam di penginapan kami bisa carikan, tapi ini bukan penginapan lho, cuma rumah penambang yang bisa disewa"
"gak papa pak, berapa sewanya ya pak?" tanya saya sambil ngebayangin enaknya tiduran di atas kasur. "200 ribu mbak" jawab si bapak kalem. 
"dua ratus ribu itu se- apa pak?" tanya saya mencoba memperjelas informasi.
"sekamar mbak" jawab si bapak mantap.

Astaga naga ada lima... 200ribu?? seriusan?? penginapan yang biasa saya datangi di Malioboro yang notabene adalah pusat kota wisata aja gak sampai 100ribu semalam! Akhirnya dengan pertimbangan bahwa harganya terlalu mahal plus nanggung karena toh jam satu pagi, kami sudah harus trekking ke Kawah Ijen untuk berburu Blue Fire, maka kami memutuskan untuk bermalam di sebuah bangunan seperti pos ronda yang masih satu area dengan pos polisi hutan tadi. 

Kami segera menyusun tas dan mengatur posisi agar semua personel bisa meluruskan badan. Ugi yang memang keliatan paling ngantuk di antara kami, tanpa banyak basa-basi langsung ngegelosor di pojokan. Gak berapa lama dengkuran halusnya mulai terdengar. "kesian banget sih kita, ngenes banget" kata Gazza sambil menggelar sleeping bag yang ia bawa. Saya yang lagi mencari posisi tidur di sebelah Aisyah yang sudah lebih dulu pules, menimpali, "kesian gimana Ge?"
"iya, begini banget tidurnya dari kemaren" katanya.
"ini mah buat gue masih tergolong enak Ge"
"maksudnya?"
"iya" saya ketawa kecil lalu melanjutkan, "Ngegembel kayak apa yang belon pernah gue rasain," Saya terdiam sebentar teringat beberapa tahun lalu waktu jalan-jalannya masih model ekstrim. "Dari naik kereta batubara, numpang truk sapi, tidur di emperan terminal bis sampai tidur di penjara kantor polisi, gue udah ngerasain Ge. Ini mah itungannya masih enak kok, Nyantai aja" 

Iya. Saya adalah tipikal orang yang gak terlalu mempermasalahkan soal tidur dimana. Bagi saya, tidur bisa dimana saja. Saya masih ingat tahun 2012 di Desa Bremi, selesai mendaki Gunung dengan track paling panjang di Pulau Jawa, Gunung Argopuro (cerita lengkap pendakiannya disini), saya dan dua orang teman harus menunggu bis yang akan membawa kita ke terminal Probolinggo, apesnya bis itu hanya lewat dua kali dalam satu hari, jam 6 pagi dan jam 4 sore, sementara saat itu jam menunjukkan pukul lima sore.  Akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di teras kantor polisi. Ijin menginap sudah kami dapat, sleeping bag sudah kami gelar mengingat dinginnya udara di desa Bremi yang memang terletak di kaki gunung Argopuro, tiba-tiba ada polisi menghampiri kami, "mbak, ini maaf lho mbak" katanya sopan. "kalau mbak sama temen-temen gak keberatan, di dalam penjara lebih anget daripada di luar sini" Saya liat-liatan dengan kedua teman saya. "sekali lagi maaf lho mbak, hanya menawarkan saja, kebetulan sel nya sedang kosong" kata pak polisi lagi. Demi mendengar kata "hangat", tanpa babibu, saya langsung menggotong sleeping bag ke dalam ruang sel tahanan yang ukurannya kurang lebih 3x4 meter.  Tanpa terlalu memikirkan curhatan narapidana yang terukir di dinding sel tentang betapa kerasnya siksaan yang mereka jalani, saya tertidur pulas sampai pagi. Sekali lagi sodara-sodara, tidur bisa dimana saja.

Jadi.. menurut standart tempat tidur selama saya backpackeran, pos ronda yang memiliki atap plus selembar tikar yang siap pakai termasuk ukuran yang cukup lumayan lah. Maka, gak berapa lama setelah saya menemukan posisi yang enak, saya terlelap pulas di sebelah Aisyah.  Keberisikan oleh suara sekelompok pemuda yang menyanyikan lagu dangdut dengan volume membahana, saya terbangun pukul sebelas malam lewat sedikit. Sambil duduk memeluk siku saya melihat Gazza yang dihampiri dua orang dengan pertanyaan yang sama tentang berapa guide yang mau disewa oleh rombongan kami. Dari analisa saya, mereka pasti pemuda kampung sini karena mereka tidak memakai seragam polisi hutan seperti bapak-bapak yang ada di pos tadi. FYI, untuk satu guide mereka memasang tarif 150ribu. 

Ada sesuatu yang aneh dari statement orang ini, karena dari tadi saya perhatikan banyak orang yang selesai membayar tiket seharga tiga ribu, langsung bablas naik ke arah pos kawah Ijen tanpa disuruh pakai guide, kenapa rombongan kita dijadiin objek begini? Kemungkinan paling besarnya adalah karena plat motor kami B plus mungkin mereka menganggap kita gak lebih dari sekelompok anak yang baru kenal jalan-jalan. 

Merasa ada yang gak beres, saya ikutan nimbrung. "satu aja Ge, kita kan gak banyak juga rombongannya, paling cuma berdelapan sama yang nanti gabung dari Surabaya kan?" timpal saya.
"tapi mbak disini peraturannya satu orang guide cuma untuk lima orang, kalau lebih berarti harus dua guide" si mas-mas dari antah berantah tadi menimpali ucapan saya. "Mana peraturannya? ada? saya mau liat coba!" jawab saya ketus. Ditanya soal peraturan tertulis tentang satu guide sama dengan lima orang pengunjung, si mas yang dari mulutnya samar-samar tercium bau alkohol ini mulai mengalihkan topik, "nanti kalau satu guide lebih dari lima orang, kita yang kena denda mbak" 

Oke. Ini lebih gak masuk akal lagi. Males ribut, saya keukeh cuma mau satu guide. Tadinya malah saya pikir its okay kalau gak pake guide dengan alasan di atas sana pasti ramai orang, tapi karena pertimbangan rasa aman secara psikologis, one guide is still fine for me. "Tapi nanti kalau diatas dikenakan denda, mbak yang bayar ya" tambah si mas-mas antah berantah tadi. Saya mengacungkan jempol tanpa banyak bicara. 

Saya masih gak habis fikir tentang peraturan tadi karena well.. gunung yang beneran gunung dengan track curam bercabang-cabang dan kemungkinan tersesat jauh lebih besar saja gak ada kewajiban untuk satu guide sama dengan lima orang, apalagi disini yang notabene jalur menuju kawahnya cuma ada satu, dan percayalah di tengah musim liburan ini, saya berani bertaruh ada ribuan orang diatas sana dengan tujuan yang sama. Cant we just walk together with them? 

Masih ngerasa agak keki, tiba-tiba mas antah berantah tadi kembali lagi. "apalagi sekarang?" batin saya dalam hati. "ini mbak, sekalian sewa masker gasnya. Kalau mau turun ke kawahnya lihat blue fire harus pake masker mbak. Diatas ada sih yang menyewakan tapi disini lebih murah. kalau diatas harganya 30ribu, di kita 25ribu aja". Jelasnya panjang lebar. Ini lumayan masuk akal karena Kawah Ijen memang terkenal dengan gas belerangnya yang menyengat. Maka kami pun menyewa masker gas sebanyak 6 buah. 

Merasa masih ada cukup waktu sebelum memulai trekking tepat jam satu pagi nanti, kami menghabiskan waktu di warung yang letaknya hanya beberapa meter dari pos tempat kami tidur. Semangkuk mie rebus dan segelas teh hangat menjadi menu andalan malam itu.



bagaimana kelanjutan cerita perburuan blue fire kami?
benarkah ada peraturan yang menyebutkan satu guide sama dengan lima pengunjung?
lalu ada apa dengan saya sampai menangis di jalur turun ke kawah?

Semua ada di part 5. Pantengin terus yak!


3 comments:

  1. Pungli 3 rb oleh LinMas di DS Tamansari itu emang jadi kasus, karena aturannya ga boleh narik restribusi apapun di Jalan Provensi.

    Terakhir sih saya ke Ijen Januari 2015 sendirian & Plat B juga, ga ada pungli oleh linmas, ga ada yg maksa harus pakek guide. Tapi ada sepasang kekasih yg pas saya datangi utk pinjam korek, ehh malah saya dikasih 10rb..grrrrrrrrrr..emangnya gw tukang palak apa?#$@#*

    Nitip Promosi pariwisata Nusa penida ya..kasian mereka, kondisi ekonominya bertolak belakang dengan Bali daratan, hanya kunjungan wisatawan yg bisa mengangkat ekonomi mereka : https://revandhiya.blogspot.co.id/2016/07/sisi-lain-pulau-dewata-bagian-iv.html

    ReplyDelete