Tuesday, December 31, 2013

Backpacker Kampung Naga : Mari Belajar Kearifan Lokal

Setelah kemarin mencoba Backpacker ke Garut, sebelum pulang ke Jakarta, saya menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu kampung di Tasikmalaya yang masih menjaga tradisi, adat istiadat dan kearifan lokal yang menakjubkan, Kampung Naga namanya. 

Rumah penduduk Kampung Naga dari kejauhan


Menuju Kampung Naga tidak sesulit yang diduga, selain karena pintu gerbang kampung ini yang terletak persis di pinggir jalan utama yang menghubungkan Kota Garut dan Kota Tasikmalaya, moda transportasinya pun tergolong sangat tourisable. Saya hanya perlu menaiki bus 3/4 jurusan Garut - Tasikmalaya dari Terminal Guntur, Garut dan minta diturunkan di Kampung Naga. 

Untuk berkeliling di Kampung Naga, pengunjung akan ditemani oleh guide lokal karena ada beberapa tempat yang tidak boleh dimasuki maupun difoto. Kebetulan guide yang menemani saya berkeliling siang itu adalah Mang Endut, yang ternyata menantu kuncen nya Kampung Naga. Begitu melangkahkan kaki menuju perkampungannya, saya disambut ratusan anak tangga yang agak curam kebawah. Tidak heran karena Kampung Naga memang terletak di lembah dan diapit dengan dua hutan, Hutan Kramat dan Hutan Larangan.
Menuruni anak tangga menuju Kampung Naga

Kalau dari namanya, mungkin orang polos seperti saya ini akan berfikir kalau mitosnya di sini pernah tinggal seekor naga, makanya dinamain Kampung Naga, tetapi ternyata bukan haha.. nama Kampung Naga berasal dari Kampung Nagawir yang merujuk kepada arti kampung yang berada di lembah ( nagawir = lembah ).

Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, sebagian merantau ke kota lain, sebagian menjadi guide dan ada juga yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pengrajin kerajinan tangan yang nantinya dijual sebagai souvenir bagi wisatawan yang berkunjung kesini.

Areal persawahan di kampung naga

dipilih.. dipilih
Oiyaa.. hal yang paling khas dari rumah-rumah penduduk di Kampung Naga selain letaknya yang seragam (menghadap utara dan selatan), yakni kealamian material bangunan rumahnya, walalupun material kaca diperbolehkan tetapi yang lain benar- benar alami dari alam, lantainya terbuat dari kayu, dindingnya dari anyaman bambu yang diberi warna putih, bukan putih cat lhoo.. tapi putihnya dari kapur. Atapnya sendiri terbuat dari rumbia. 

Ternyata emang bener filosofi dan gaya hidup mereka, karena dengan material dari alam, hawa di dalam rumah berasa sejuk banget, itu yang saya rasain waktu mampir dan liat-liat rumahnya Mang Endut. Betah banget rasanya.

Material Alami
Menghadap ke arah yang sama
Nah, dengan material alami yang menjadi bahan utama bangunan rumah di Kampung Naga, gak heran kalau mereka tidak ingin ada aliran listrik memasuki wilayah ini,"rentan kebakaran" jelas Mang Endut singkat.

Adalagi yang menarik dari bangunan rumah di Kampung Naga ini yaitu pondasi rumahnya. Kalo kebanyakan rumah di kota pondasinya berupa semen dan batu kali, maka kalo disini yang menjadi pondasi rumahnya adalah batu alam yang dipahat dan dibentuk mirip trapesium sebagai penyangga rumah panggung mereka.

Pondasi batu berbentuk trapesium. 
Berdasarkan keterangan Mang Endut, pondasi ini sudah pernah ada yang meneliti dari peneliti mancanegara dan hasilnya adalah anti gempa bumi. "Kalau orang-orang biasanya gempa bumi itu keluar rumah, kalo disini malah semuanya masuk ke rumah", jelas Mang Endut dengan logat bahasa sunda yang kental. Jumlah pondasi yang dipakai tergantung luas rumah yang dibangun. Semakin luas bangunan tentu saja semakin banyak batu yang dipakai.

Masih soal rumah, rumah di Kampung Naga ini hanya memiliki dua pintu, yaitu pintu dapur dan pintu ruang tamu yang letaknya bersebelahan. Yang menarik adalah model pintu dapurnya.

Pintu dapurnya punya anyaman yang unik
Mang Endut lagi ngejelasin maksud anyaman di pintu dapur bangunan rumah
Pintu dapurnya terbuat dari anyaman yang agak longgar, anyaman ini memiliki fungsi yang ajaib, apabila dari luar, orang tidak akan bisa melihat kedalam rumah dari anyaman ini, sedangkan dari dalam kita bisa melihat siapa yang ada di luar. Sementara itu, ( karena mereka memasak masih menggunakan tungku ) apabila terjadi kebakaran, dari luar akan nampak nyala api sehingga mudah diketahui. Sederhana yaaa.. tapi maknanya kena banget!

Belum beranjak dari seputar rumah, benda yang memakai listrik yang saya lihat di rumah Mang Endut adalah televisi, tetapi tidak menggunakan listrik melainkan menggunakan aki. Apabila akinya habis, maka penduduk biasanya re-charge di perkampungan yang terletak diatas anak tangga yang banyak itu. Penerangannya menggunakan lampu cempor, sementara untuk setrika, mereka menggunakan setrika jaman nenek saya, setrika areng. Soooo Classy :)

Antik banget. Keren!
Puas ngegeratak rumah Mang Endut, kami beranjak ke alun-alun Kampung Naga dimana disana terdapat masjid dan lapangan kecil tempat diadakannya upacara adat. 

ada lapangan mini di alun-alunnya

Saya sempat mencicipi sholat zuhur di Masjid Kampung Naga. Perasaan yang sulit digambarkan. Saya bisa membayangkan bagaimana suasana malam di masjid ini, berjamaah sambil diterangi lampu cempor. Syahdu ya?
Suasana masjid Kampung Naga
Bedugnya panjaaaaaaang
yap.. itu saya haha
Sekarang kita akan membicarakan soal kepemerintahan, kalau secara administratif desa ini termasuk wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Selewu, Tasikmalaya. Pastinya ada kepemerintahan resmi seperti pak Camat dan lain sebagainya. But we're not gonna talk about that. Kita akan bicara mengenai kepemerintahan secara adat di Kampung Naga ini. Berdasarkan penjelasan Mang Endut, ada tiga ketua atau kepala yang mengatur jalannya adat istiadat di kampung ini : Kuncen, Lebe dan Punduh.

Kuncen merupakan jabatan paling tinggi, yang akan memimpin prosesi adat di Kampung ini, jabatan ini didapat turun temurun artinya apabila tidak ada garis keturunan dari Kuncen terdahulu, maka tidak akan bisa menjadi Kuncen. Posisi selanjutnya adalah Lebe, yang bertugas mengatur perihal keagamaan misalnya proses pemakaman jenazah dan yang terakhir adalah Punduh yang bertugas mengatur interaksi sosial antar warga.

Berbicara soal sejarah, Kampung Naga ini kehilangan jejak dan bukti sejarah tentang asal-usul kampung mereka akibat pembakaran besar-besaran yang terjadi di Kampung ini oleh tentara DI/TII pada tahun 1956 akibat masyarakat Kampung Naga yang tidak memihak mereka. Heyyy... mana boleh orang membakar kampung orang lain seenaknya?!

Eniwei, di Kampung Naga ini, terdapat sungai yang tidak pernah kering sepanjang tahun, Sungai Ciwulan namanya. Setelah digali ternyata resepnya adalah kelestarian hutan yang amat dijaga oleh penduduk Kampung Naga. 

Hutan Larangan yang berada di seberang sungai Ciwulan
Penduduk Kampung Naga tidak ada yang berani memasuki kawasan Hutan Larangan maupun Hutan Kramat yang mengapit perkampungan mereka, jangankan menebang pohon, mengambil ranting dan daun yang jatuh pun mereka segan. "Alasannya kenapa pak?" tanya saya kepada Mang Endit di sela-sela  kami menyusuri pinggiran Sungai Ciwulan. "ya Pamali aja neng, tidak ada penjelasannya, kalau dikatakan pamali maka orang sini sudah paham tanpa dijelaskan kenapa nya" sambung Mang Endut.

Menyusuri jalan setapak di pinggir sungai Ciwulan
Filosofi mereka adalah apabila satu generasi saja diperbolehkan untuk mengambil daun yang jatuh, maka generasi selanjutnya akan berani mengambil ranting kemudian generasi selanjutnya akan berani menebang pohon, lama kelamaan hutan akan habis dan alam akan marah. Keren keren.. prinsipnya keren :)

Di akhir sesi keliling Kampung Naga, Mang Endut menjelaskan bahwasanya manusia itu salah kaprah dengan mengatakan musibah itu adalah bencana alam. "Alam tidak mungkin memberikan bencana.. manusialah yang membuatnya menjadi bencana, lihat bagaimana manusia meratakan pohon menjadi gedung dan lapangan parkir, membuat hewan tidak memiliki tempat hidup, jadi harusnya kita menyebutnya bencana manusia bukan bencana alam". Saya tertegun mendengarkan penjelasan Mang Endut. Benar juga.. banjir, longsor, kemarau.. semuanya bencana manusia.. kita akan menuai apa yang kita tanam.

Mereka boleh hidup sederhana.. but the way they live their life is so amazing and powerful. Semoga ada pelajaran yang bisa kita ambil dari mereka

sederhana dan bahagia

26122013
regards,

Monday, December 30, 2013

Backpacker Pulau Harapan : Item, Puas dan Bahagia :)


Kembali ke pulau ini, membuat saya mengenang kejadian dua tahun silam ketika saya berniat ke Pulau Tidung lalu kemudian entah karena linglung atau emang hobi nyasar, saya salah naik kapal dan terdampar di Pulau ini hahaha.. dan setelah dua tahun berlaluuu.. liburan di penghujung tahun membawa saya lagi kesini, sekaligus mengunjungi Pak Salim, orang yang dengan baik hatinya menampung saya yang waktu itu shocked karena tersesat. Bahkan malam sebelum saya berangkat, Pak Salim sempet-sempetnya nelepon saya dan bilang : Puuut, besok naik kapalnya Harapan Ekspress yaa.. jangan salah naik kapal lagi yaa kayak dulu..". Oke. Saya jadi sadar bagian apa yang paling dikenang Pak Salim (-__-")

Rencana solo backpackeran ke Pulau Harapan berubah total karena tanpa diduga, rencana saya main air disana berhasil meracuni lima orang, termasuk didalamnya adalah adek sayah tercintaaah :-* dan sahabat-sahabatnya. Seperti perjalanan sebelumnya ke Kepulauan Seribu, perjalanan kali ini pun dimulai dari Dermaga Muara Angke. Yang bau itu? yang kotor itu? yak.. betul, masih bau dan kotor karena memang jadi satu dengan pasar ikan. 

Dan seperti biasa, kapal yang katanya berangkat jam tujuh teng itu bakalan ngaret sampe setengah delapan. Tapi bagi para manusia gila foto ini, gak masalah nunggu setengah jam sambil jeprat jepret haha



Sempet kepikiran cuaca yang sering hujan belakangan ini, kan gak lucu yah liburan di pantai trus ngedekem di kamar karena hujan, tetapiiii alhamdulillah nyaaaaaa.. setelah hampir 3 jam diatas kapal, cuaca cerah dan langit biru menyambut kami berenam ketika mendarat di dermaga Pulau Harapan. Cihuuuy!


Di dermaga, Pak Salim udah nungguin ditengah berjubel orang yang mau liburan di pulau ini, ceritanya mah beliau mau ngejemput haha.. Pak Salim gak berubah, masih ramah dan banyak bicara. Sambil membawa kami ke rumah kakaknya yang nanti akan kami sewa satu kamarnya, Pak Salim flashback lagi cerita ketika saya salah naik kapal. 
Hadeh.. (-__-"). 

Eniwei, di rumah kakaknya pak Salim ini, kami bertemu 4 orang pemuda ( halah,, bahasanya) Sebut saja mereka Ilung, Ari, Eko dan Mpe, yang akhirnya join jadi satu perahu untuk bersnorkeling ria dan menghitamkan kulit. Tanpa banyak buang waktu, selepas zuhur, kami bersepuluh beranjak ke dermaga untuk seterusnya naik perahu kecil dan hopping island! Yihaaaaaa :)
Ar yu redi tu rok? haha
Kalau dua tahun lalu spot snorkelingnya adalah sekitar Pulau Bira Besar, Pulau Bira Kecil, dan Pulau Sepa, kali ini pak Salim ngebawa kita ke spot snorkeling yang beda, yaituuuuuuuuuuuu... di Pulau Putri Barat, Pulau Putri Timur, Gosong Perak, kemudian merapat ke Pulau Perak untuk istirahat dan sebagai penutupan adalah snorkeling di sekitar Pulau Bira. 

Spot yang pertama didatangi adalah spot snorkeling di sekitar Pulau Putri Barat dan Pulau Putri Timur. Terumbu Karang disini belum begitu unyu, tapi tetep sih gak bosen ngeliatnya haha.. dan syukurnya si bulu babi juga gak nongol dimari, jadi bebas kecipak kecipik tanpa takut kesusupan. Weehoooo \(^-^)/




Setelah cukup hitam, kami diajak mendarat di Pulau Perak, sebuah pulau kecil yang gak berpenghuni dengan pantai pasir putih yang membangkitkan naluri untuk guling-gulingan di atasnya hahaha.. pokoknya heavenly beautiful!

Ini dia si jali jali.. Pulau Perak!
Pic was taken by Zami

Di Pulau Perak ini kami sibuk dengan acara masing-masing, ada yang ngopi, ada yang tidur di hammock yang kebetulan ada di pinggir pantai, ada yang sibuk main ayunan, sibuk hunting foto dan ada juga yang sibuk minta dipoto ( yaitu saya.. haha)

Bareng Pak Saliiiimmm :)
Beranjak dari Pulau Perak, kami mendatangi areal berpasir ditengah laut, gosong perak namanya. Gosong perak ini daerah ditengah laut yang dangkal dan berpasir. Memang Subhanalloh yaaa.. ditengah lautan ketinggian air cuma sepinggang kita! Keren!

Saya dan adek saya lagi fussion di tengah laut haha :)
bertujuhan.. yang dua lagi sibuk berenang, yang satu yang motoin kita haha
makasih lhoo zami

Sebagai penutup, masih ada satu spot snorkeling lagi yaitu di sekitar Pulau Bira. Karang di spot terakhir ini unyu-unyu banget lhoo.. seriusan! Ngeliat karang yang lucu begini jadi gak mau pulang urusannya. Aaaah jadi pengen ganti casing putri duyung haha..!






Waktu menunjukkan pukul setengah enam saat kami beranjak pulang kembali ke penginapan di Pulau Harapan. Snorkeling dan Hopping Island hari ini ditutup dengan sunset yang subhanalloh cantik luar biasa. Masing-masing dari kami menatap sunset dikejauhan diiringi deru mesin kapal dan suara desir ombak, kami pun tenggelam dalam lamunan masing-masing. Ah mulai deh momen galau-galau an hahaha :D
heavenly beautiful
taken by photographer of the day : zami
Malam harinya, gak banyak yang kami lakukan karena badan udah encok pegel linu, niat mau mancing di dermaga pun sirna karena gak bawa umpan. Sempet terfikir untuk ngumpanin si Ary yang bodinya subur, tapi kemudian ngeh kalo ikan pasti gak napsu ngeliat dia haha.

Akhirnya kami menghabiskan waktu di teras dan mengobrol dengan Pak Salim dan seorang temannya yang juga penduduk lokal. Ketika saya keluar ke teras, tiba-tiba temannya Pak Salim berkata : neng.. neng, neng yang waktu itu salah naek kapal kan yah? yang tadinya mau ke Tidung?. Okeh. ternyata saya cukup terkenal (-__-")

Keesokan paginya, sambil menunggu kapal kayu yang nantinya akan mengantar kami kembali ke Muara Angke, kami main-main ke dermaga Pulau Kelapa. Sekedar info, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan memang menjadi satu. Di dekat dermaga Pulau Kelapa, banyak terlihat mangrove belt alias gugusan mangrove yang memanjang. Alhamdulillah.. setidaknya udah ada kesadaran untuk melestarikan tanaman yang bermanfaat meredam gelombang ini. Yeayy \(^-^)/


Tepat jam setengah dua belas, kapal kayu Harapan Ekspress datang dan dengan ini berakhir sudah liburan dua hari satu malam di Pulau Harapan. Cukup tiga kata untuk menggambarkan liburan kali ini : Puas, item dan bahagiaaaa :)

28-29122013
yang makin item,



"Ps
untuk budgetnya :
tiket PP angke - pulau : 80ribu
sewa kamar  : 250ribu ( bisa muat 4 orang, mau maksa 6 orang juga gapapa haha )
sewa alat snorkel : 35 ribu/ orang
sewa perahu utk snorkeling : 450 ribu
makan : 20rb/orang/makan ( sekedar info :  nasi goreng seporsi 15ribu!)

Intinya semakin banyak peserta semakin murah karena patungan kamar dan perahunya jadi lebih murah :)

Tuesday, December 17, 2013

Backpacker Gunung Merbabu : Antara Jalur Kopeng dan Selo!

Sebenernya ini mah postingan udah kadaluarsa, secara tripnya udah kelar dari bulan kemaren. Maafkan blogger pemalas ini yaa (-__-")... Eniwei, trip ini adalah trip ngabisin sisa cuti tahunan sebanyak 6 hari sekalian pulang kampung ke rumah almarhum kakek di Kulonprogo, Jawa Tengah. Pulang kampung berbonus naik gunung hohoho!

Setelah kurang lebih 4 jam perjalanan dari rumah kakek, akhirnya saya dan empat pria ajaib (sebut saja Lukman, Oliv, Rendi dan (again ) Dedi sebagai leader merangkap sesepuh *ups*, sampai di pintu gerbang bertuliskan : Welcome To Kopeng. Dari gapura inilah, kami akan berjalan kaki menuju desa terakhir di kaki Gunung Merbabu, desa Thekelan.




Azan magrib berkumandang ketika kami sampai di desa Thekelan dalam keadaan basah. Hujan pertama setelah beberapa bulan musim panas melanda desa ini - begitu kata penduduk yang kebetulan kami singgahi untuk berteduh. Malam itu basecamp cukup ramai, mengingat jalur Kopeng adalah jalur favorit bagi mereka yang ingin mengunjungi Merbabu. Kebanyakan dari mereka adalah pendaki lokal dari Boyolali dan sekitarnya. Saking ramainya, saya sempet khawatir gak kedapetan tempat untuk tidur nanti malam, Beruntung, mereka memutuskan untuk naik malam itu juga sehingga basecamp cukup luas untuk saya tidur sambil koprol.

Selamat pagiiiiiii telomoyoooooooo :)
Pagi harinya, matahari udah nyegir dengan sumringah, hujan semalam sama sekali gak berbekas, sementara Gunung Telomoyo keliatan ganteng dari kejauhan. Penduduk desa juga mulai berhamburan keluar dari rumah dan melakukan rutnitas hariannya, dan saya?? yak.. saya disuruh-suruh ngejemurin carier yang basah  karena keujanan semalam (-__-*).

Perjalanan dimulai selepas makan siang dan sholat zuhur, tepat ketika matahari berada di atas kepala. Terik matahari dan jalanan yang berdebu di kanan kiri ladang penduduk menjadi teman setia menuju Pos Pending. Udah kebayang akan sedekil apa ketika pulang nanti haha

Panas.. ngebul 
Di pos pertama ini, terdapat shelter yang berupa bangunan permanen. Gak jauh dari shelter, disebelah kiri jalan setapak, ada penampungan air yang dibuat oleh warga. Nah.. pendaki bisa mengambil air disini untuk stok perjalanan. Air disini layaknya air khas pegunungan.. seger dan bisa langsung minum walaupun belum dimasak. Man koman kamin kuman-kuman jadi vitamin. Yihaaa..!


mari menampung air 
Menuju Pos Pereng Putih, teriknya matahari mulai tertutup oleh pohon-pohon yang besar dan rindang. Tuh kaaaaan.. hutan memang selalu menjadi tempat yang menyenangkan! Jangan tanya berapa lama jarak tempuh antar pos yaa.. saya gak terlalu nyimak karena sibuk nyamain langkah panjang pria-pria itu sambil ngatur nafas yang mulai senen-kamis.


Kalau nge googling.. Pos  ini sering disebut dengan pos Pereng Putih, katanya sih karena kalau mau menuju kesini akan melewati tebing berwarna putih. Kemarin emang sempet notice ada tebingan yang putih begitu sebelum nemuin pos yang terdiri dari seng-seng yang dibentuk jadi shelter.
pereng putih??
Pos Pereng Putih 
Kami terus bergerak, berjalan sejauh mungkin dari basecamp dan sedekat mungkin menuju ke atas mumpung matahari belum tenggelam ditelan malam. Pukul 5.30 waktu setempat,  langit mendadak mendung disertai kilat putih syahrini (cetar membahana maksudnya..). Tak ditunggu lagi, begitu menemukan area yang cukup lebar, tangan-tangan cekatan mulai grasak grusuk membuat tenda lengkap dengan lapisan flysheet diatasnya jaga-jaga seandainya hujan beneran turun.

Dedi bilang kalo tempat ini adalah Pos Lempong Sampan. Tapi saya sendiri meragukan itu karna tidak ada satupun petunjuk atau tulisan diarea ini. Seinget saya, 5 tahun lalu, Lempong Sampan adalah area dengan shelter semi permanen terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Tapi gunung tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu bukan?? 

Malam itu, udara tidak seberapa dingin, mendung yang sempat bergelayut menghilang digantikan kedipan genit si bintang, sementara itu kami berempat menghabiskan malam di depan api unggun dengan dua cangkir kopi hangat. Kira-kira begini urutan kronologis kejadiannya : becanda, ngopi, terus pas lagu yang diputer adalah lagu romantis, semuanya mendadak pada diem dan ngeliatin langit. Momen galau para pendaki pria haha :D

Sempat hujan gerimis sih sebelum kami memutuskan untuk masuk tenda dan tidur, tapi suaranya gak terdengar lama, entah karena saya nya yang udah tidur atau memang hujannya yang cuma sebentar.

4 pria ajaib.. 3 dari Jakarta.. 1 boleh nemu di terminal Magelang wkkwkwk
Keesokan harinya, antara malas packing, kelamaan foto-foto dan menghindari terik matahari, kami baru melanjutkan perjalanan sekitar pukul 2 siang. Rasanya gak berapa lama jalan, kami sampai di Pos Watu Gubug. Kenapa dinamain Watu Gubuk? karena ada batu besar yang mirip gubuk dengan lubang didalamnya yang bisa dimasuki sampai 5 orang. Katanya sih disini rada angker karena dipercaya sebagai pintu gerbang kerajaan lelembut. Tapi kesan angker ternyata gak cukup ampuh untuk mencegah tangan-tangan norak untuk gak nyoret-nyoret disini

cakep yak ( langitnya maksudnya ) *uhuk*
Dibalik Watu Gubuk ada pemandangan sekeren ini!
Sampai sini, jujur kacang ijo.. saya itu udah males-malesan, serius! rasanya mau turun trus mandi secara gerah, lengket, panas dan capek plus jalanannya itu lhoooo.. ampun-ampunan dah tracknya (T_T). Ngelangkah juga udah secimit-secimit sampai Rendi - yang kita pungut di terminal Magelang itu haha- punya julukan baru buat saya : pinguin!

Muka males-malesan
Tapi sodara-sodara, pinguin yang satu ini sampai juga ke pos Pemancar. Yeayy! Pos Pemancar bisa terlihat dengan mata telanjang dari basecamp karena disana berdiri gagah satu menara pemancar. Di pos pemancar ini ada shelter berupa bangunan permanen berukuran kurang lebih 3 x 3 m. Lima tahun lalu, ruangan yang terletak disamping menara pemancar ini terkunci, namun entah bagaimana ceritanya, sekarang ruangan ini terbuka dan bisa dijadikan tempat untuk bermalam.

Perjalanan berhenti sampai disini mengingat waktu sudah mendekati magrib dan khawatir kabut akan menutupi jarak pandang apabila kami memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak Syarif. Saya rasa, malam itu adalah malam paling dingin ditambah angin yang bertiup kencang. Saking dinginnya sampai gak ada satupun dari kami yang sudi duduk2 di luar untuk menikmati malam. 

Menara Pemancar jam 8 pagi keesokan harinya
view dari pos pemancar

Sindoro Sumbing! How amazing that huge thing seems so small from far away :)
Keesokan harinya, di hari ketiga pendakian, targetnya tentu saja Puncak Syarif dan Kenteng Songo. Cuaca cerah dan hangat ( super hangat tepatnya ), langit biru dan awan tipis dan kami melipir di antara punggungan bukit. Ah pokoknya mah Subhanalloh deh :)

beranjak dari pos pemancar
Dari pos pemancar, sebenernya waktu tempuh ke pertigaan antara Puncak Syarif dan Kenteng Songo gak terlalu lama. Tapii rugi banget kalo gak mampir dulu ke Kawah Condrodimuko. Kawah  ini  terletak agak curam menurun di sebelah kanan jalur menuju pertigaan.

kawah belerang
udah mendidih ini.. matiin kompornya begimane?
Selain disini ada sumber air yang bisa diminum ( meski rasanya mirip seduhan serbuk besi ), kawah condrodimuko ini pemandangannya beneran keren lhoo. Rocky! 

Oke. Say cheeeeeseeeeeee
kumpulan kaki tukang jalan haha
Hampir 2 jam saya dan keempat pria ajaib ini menghabiskan waktu di kawah, masak air, foto-foto, haha-hihi sekaligus ngaso karena semakin ke atas treknya akan semakin eng-ing-eng. Yak seperti dibawah ini :

Apah apaan ini jalanannya? (T_T)
Yak setelah ngos-ngosan, dipaksa-paksa, disemangatin ( baca: dimarahin ), ditarik-tarik sampe dibawain cariernya, *terimakasih buat keempat pria ajaib nan baik hati ini* akhirnyaa sodara-sodaraaaaaaa.. Puncak Kentengsongo dan Puncak Syarif! Alhamdulillah luar biasa.. Allohuakbar. Meuni terharu. Gak nyangka setelah lima tahun bisa balik kesini lagi (^^)v




Dan yang bikin perjalanan kali ini lebih istimewa dari lima tahun lalu adalaaaaahhh.. kami lintas!. Yap kalau dulu jalur naik dan turun via Thekelan, kali ini kami turun lewat jalur Selo yang ternyata KEREN. Beneran ini mah.. sempet surprise juga karena ngelewatin padang rumput yang langsung mengingatkan saya akan perjalanan Backpacker Gunung Argopuro lepas lebaran kemarin. Udah gitu Gunung Merapi keliatan meuni ganteng dari jalur ini!

Mirip pemandangan turun dari Puncak Rengganis ya?
Ini adalah foto favorit saya!
Seperti biasa, bukan saya namanya kalo gak naik turun lama haha.. abiiiis jalurnya tanah berpasir, gak tau deh berapa banyak jatoh gabruk, pokoknya sampe basecamp Selo udah gak karuan kaki rasanya. Tapi rasa capek, sakit, bahkan bau badan pun ketutup sama memori di atas sana. Aaah pokoknya mah bahagiaaaaaa... \(^o^)/

Berhubung sampai basecamp udah malem, kami menginap untuk kemudian keesokan paginya melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta! The trip isnt over yet buddy! Weehooooo...
Di depan basecamp Selo
Di Jogja, kami ditampung sama anak-anak Makupella (Akademi Teknik Kulit Jogjakarta) yang baik hati dan tidak sombong. Sekretariat mereka beneran bagus, bersih dan legaaaa PLUS deket sama Malioboro. Jadi, sambil menunggu kereta jam 3 sore yang akan membawa kembali ke Jakarta, kami berlima keliling-keliling Malioboro sambil cuci mataaa (*_*)


Gayanya keren tapi sebenernya jalannya terseok-seok nahan kaki sakit haha..


Jam 2 sore waktu setempat, anak-anak Makupella mengantar kami ke stasiun Lempuyangan *baiknyaaa mereka*. Waktunya untuk saya, Lukman, Dedi dan Oliv kembali ke Jakarta, sementara Rendi masih meneruskan perjalanannya ke Merapi dan seterusnya balik ke habitatnya di Malang.

Ahhh.. what a sweet escape!


*Ps
terimakasih tak terhingga untuk keempat teman seperjalanan saya : Dedi, Lukman, Oliv dan Rendi. You guys rockkkkk!!
Juga buat anak2 pecinta alam Akademi Teknik Kulit Jogjakarta, Makupella, makasih banyaaaaak tumpangannya selama di Jogja. Ah gak tau lah mesti gimana bales budi sama kalian :')