Tuesday, March 24, 2015

Backpacker Ke Baluran Part 3 (tamat) : Masuk Hutan Keluar Pantai.. Amazing!

Setelah menerima kenyataan telak bahwa pengunjung GAK BOLEH mendirikan tenda di area Taman Nasional Baluran, saya dan Acil melangkah gontai meninggalkan gerbang masuk Taman Nasioanal Baluran. Kita berdua akhirnya terdampar di sebuah warung kopi yang letaknya gak jauh dari gerbang masuk Desa Wisata Kebangsaan, desa yang persis berada di sebelah gapura selamat datang-nya Taman Nasional Baluran. Saya melirik casio hitam yang melingkar di lengan, jam delapan malam.

"ini malem minggu tau" celetuk Acil, gak nyambung.
Saya melengos, "iya malem minggu dan nasib kita apek banget". Acil tertawa sambil sesekali menyeruput kopi yang baru saja dia pesan. "Lo belon mandi dua hari dua malem, gue belon mandi sehari semalem, keabisan duit pula" sambung saya lagi. "iya ya, abis ini nyari ATM yuk" sahut Acil yang kali ini nyambung. Saya mengangguk setuju. "Lo tanya dulu gih dimana ATM paling deket", sahut Acil. Dia lupa satu hal : dengan kemampuan membedakan arah yang sekelas anak TK, menyuruh saya menanyakan arah adalah sebuah keputusan yang keliru.


"Oh ATM?" si Ibu merespon sambil menuangkan kuah bakso ke dalam mangkok. "500 meter mbak ke arah selatan sana". Saya garuk-garuk kepala,"ooooh... selatan ya bu?". Saya lihat si ibu sibuk melayani pesanan bakso dari pelanggannya, sementara saya terdiam beberapa saat mencoba mencerna si "selatan" yang dimaksud oleh si ibu. Gak berhasil. Bedain kanan kiri aja kadang salah, ini disuruh bedain arah mata angin pula. Akhirnya saya pun memadukan bahasa manusia dengan bahasa tarzan, "jalan ke arah sini atau ke arah sana ya bu?" tanya saya sambil mengibas-ngibaskan tangan kanan dan kiri secara bergantian, persis anak TK yang abis cuci tangan. Dengan tatapan agak aneh, si mbak menjawab pertanyaan sambil ikut memperagakan bahasa tarzan yang tadi saya pakai, "iya mbak. Bener. KE ARAH SANA.".

Oke. Dompet.. bertahanlah, sebentar lagi.. sebentar lagi!

Setelah kondisi dompet sehat kembali sepulangnya dari ATM, diantar sama si ibu warung kopi, kita berdua akhirnya nemu homestay, Bama Indah namanya. Rasanya nama homestay ini diambil dari salah satu spot didalam Taman Nasional Baluran : Pantai Bama. Eniwei, tarif homestay ini muraaaah meriah, cuma 50ribu semalam sudah termasuk dengan dua pilihan menu untuk sarapan : nasi goreng atau soto ayam. Berhubung bukan musim liburan ditambah masih terhitung musim hujan yang sebenernya bukan waktu yang cukup tepat untuk mengunjungi Taman Nasional Baluran, homestay ini sepi. Orang yang menginap di homestay ini cuma saya dan Acil, makanya dengan seenak udelnya kita bisa pilih-pilih kamar. Saya memilih kamar paling depan, sementara Acil memilih tidur di depan televisi. 

Besok paginya, setelah sesi sarapan dan nonton film kartun (iya. kartun), saya dan Acil beranjak menuju gerbang masuk Taman Nasional Baluran untuk seterusnya menghabiskan waktu di dua spot yang terkenal : Savana Bekol dan Pantai Bama. Total waktu yang kita habiskan disana hampir 8 jam! Waktu yang sangat sebentar sebenarnya, mengingat luas Taman Nasional Baluran ini yang mencapai angka 25.000 Ha.

Savana Bekol
"jarak dari sini ke Bekol 15 kilo mbak", jelas mas Andre yang kebetulan piket di loket masuk Taman Nasional Baluran. "ya monggo, kalau mau jalan kaki silahkan"

15 KILO? JALAN KAKI? Pulang-pulang bisa gak berbentuk ini betis, gumam saya dalam hati

"atau mbak sama masnya mau nyewa motor juga bisa" tambah mas Andre lagi. Saya ngeliat Acil sambil cengengesan. Seolah tau yang saya pikirkan, Acil menjawab setengah pasrah, "jadi ojek lagi dong gue?!". Saya ngakak. Mungkin Acil memang ditakdirkan jadi tukang ojeg di trip kali ini.

Ternyata ada yang nyobain jalan kaki!
Gak ngerti ini bule-bule, kaki sama paru-parunya terbuat dari apa sih? 
Jalanan menuju savana Bekol adalah jalanan beraspal. Di beberapa titik banyak juga yang jalanannya rusak parah. Untungnya Acil udah lulus SIM B ( baca : Sim Bromo ), makanya saya nyantai aja duduk di jok belakang sambil asik motret kanan kiri. Di sepanjang jalan yang kanan kirinya hutan ini, sangat disarankan untuk bernafas secara brutal dan nikmatin oksigen yang bebas dari asap knalpot. Adem. Segar. Bugar. Selain udaranya yang beda, kita juga sempat ngeliat beberapa hewan hilir mudik, mulai dari ayam hutan, burung merak dan tentu saja.. monyet. Mendekati savana Bekol, monyet-monyet malah semakin banyak di pinggir jalan, biasa.. cari perhatian. Apalagi kali ini ada Acil, cowok yang kegantengannya udah tersohor di kalangan monyet-monyet. 

Anggota AFC : Acil Fans Club :D
Setelah kurang lebih 40 menit, kita menemukan papan besar bertuliskan BEKOL. Sudah sampai ternyata. Berhubung masih termasuk musim hujan, Savana Bekol hari itu kelihatan hijau, gak seperti penampakan padang rumput di Afrika. Iya. Timing kita kesini emang kurang tepat. Berdasarkan keterangan dari bapak-bapak yang sama-sama duduk di warung kopi semalam, waktu terbaik mengunjungi Taman Nasional Baluran adalah ketika musim panas sedang panas-panasnya ( nah lho, yang kayak gimana itu maksudnya? ), karena ketika musim panas, rumput-rumput bakalan kuning meranggas dan hewan-hewan akan keluar dari hutan dan turun ke Savana untuk mencari sumber air dan makanan, persis seperti pemandangan di Afrika sana.

Hemm.. gak papa lah. Gak mengurangi naluri kita untuk tetap keliling-keliling disana ^^


Di dekat Savana Bekol, ada beberapa homestay yang disewakan, wisma rusa, wisma banteng dan wisma merak. Lucu juga kali ya kalau menginap disana, malem-malem bisa denger suara hewan-hewan dari hutan. Kalau berminat nginep disini harus booking dari jauh-jauh hari, kata si bapak di loket tiket. Selain wisma untuk tamu, ada gardu pandang juga, kalau naik kesini kita baru deh kita percaya kalo Taman Nasional Baluran ini ribuan hektar luasnya!

Dari atas gardu pandang

Dan ini beberapa jepretan kita 
di sekitar Savana Bekol
Maskot Savana Bekol
Maskot Savana Bekol DAN suku asli penghuni Bekol :D
Sudut lain Bekol
Sebenernya ngarep banget ketemu rusa atau banteng disini, tapi lagi-lagi yang ada hanya sekelompok monyet yang asyik bercanda satu sama lain. Setengah kecewa, perjalanan berlanjut ke Pantai Bama yang berjarak kurang lebih 6 Km dari Savana Bekol.

Pantai Bama

Awalnya, saya sempet gak percaya. Masa sih di tengah hutan ada pantai?? Tenyata beneran ada. Pantai ini bahkan juga memiliki wisma penginapan untuk tamu, berbagai macam wahana olahraga air seperti canoeing dan snorkeling, mangrove track dan bird watching trail.


Tempat pertama yang kita datangi adalah Pantainya. Pantai pasir putih ini cenderung sepi, padahal tergolong weekend. Tapi ini justru jadi keuntungan tersendiri untuk saya dan Acil. Private Beach!. Setelah mendirikan tenda untuk menyimpan tas dan barang bawaan lainnya dari gangguan monyet-monyet, tanpa banyak basa-basi kita langsung main air!

Mencegah tangan si monyet2 nakal
kelakuan (>,<)
tadinya sih pingin dipendem pasir berikut sama kepalanya.. untung sempet istigfar :D
Spot berikutnya yang kita datangi setelah puas main air adalah bird watching trail. Bukan berita baru kalau Taman Nasional Baluran merupakan habitat dari berbagai jenis hewan, termasuk burung. Konon ada sekitar 155 burung yang tinggal disini, beberapa bahkan merupakan burung langka, misalnya aja burung layang-layang api ( Hirundo rustica ) dan burung rangkong ( Bucerros rhinocerros ). 

Tukang burung
Sempat pas kita lagi nelusurin tracknya, ada dua ekor burung apalah-itu-saya-gak-tau-namanya, yang terbang di atas kepala kita. Dari suara kepakan sayapnya ketauan banget ukuran burung itu cukup besar. Orang yang paling seneng di tempat ini adalah Acil. Sebagai orang yang sering mainan miara burung, Acil keliatan excited banget! Mulutnya gak berhenti monyong-monyong bersiul menirukan suara burung yang terdengar dari kejauhan.

Ini dia lintasan bird watching trail
Sebelum pulang, saya sempat jalan-jalan sebentar di spot terakhir,  mangrove track. Sementara Acil memilih duduk di dekat musholla Pantai Bama. Luas hutan bakau di sini mencapai 400ha, tempat yang ideal untuk tempat hidup satwa laut mulai dari ikan sampai ular. Bahkan katanya, disini juga pernah ada yang melihat kucing mangrove. Meski agak bingung apa bedanya kucing mangrove dengan kucing kampung, saya tetap pasang muka-wow ketika mendengar informasi ini.

Ada juga mangrove terbesar se Asia
track pejalan kaki
Khawatir si Acil dikerubutin monyet-monyet betina, saya bergegas kembali ke Pantai Bama, sore itu langit mendung kembali. Benar saja, begitu sampai di gerbang depan Taman Nasional Baluran, hujan turun disertai angin lebat. Untung niat menunggu sunset di Pantai Bama kita urungkan! 

Turunnya hujan juga menandakan acara berikutnya tinggal santai-santai di homestay mengingat besok pagi, kami harus kembali lagi ke Malang untuk seterusnya naik kereta dan pulang ke Jakarta. Malam itu ditutup dengan saya yang ketiduran di depan televisi 14 inch yang lagi menayangkan film Lord of The Ring. 

Liburan yang menyenangkan!



Sunday, March 22, 2015

Backpackeran ke Baluran Part 2 : Balada Pintu Masuk Taman Nasional Baluran

Bis Mila Jaya yang kita tumpangi dari Terminal Bayuangga, Probolinggo menuju Banyuwangi masih melaju ugal-ugalan. Udah gak keitung berapa kali, saya dan Acil yang sama-sama duduk di kursi barisan paling belakang, ajrut-ajrutan ke kanan dan kiri. Perjalanan dari Probolinggo ke Banyuwangi memang tergolong cukup lama, memakan waktu kurang lebih 4-5 jam dari Kota Malang, which is baru kita tempuh setengahnya :  dua jam

Acil garuk-garuk kepala, mati gaya. Sementara saya nyaris mati keselek ketombe Acil yang bertebaran di udara. Kita memang berada di level mati gaya akut dimana kita gak bisa melakukan apapun kecuali duduk dan bengong. Gak banyak memang yang bisa kita lakukan di dalam bis, terutama bis yang jalannya ngepot-sradak-sruduk kayak gini.

Menjelang magrib, bis sampai di Terminal Situbondo. Disini bis berhenti agak lama. Acil tiba-tiba berdiri kemudian celingak celinguk. Pandangan matanya tertuju liar menatap sudut-sudut terminal Situbondo. Saya yang sedari tadi duduk disebelahnya, jelas heran bercampur kaget.

"Put, di Baluran ada ATM gak ya?". Saya ketawa, "ya gak lah dodol, emang siapa yang mau tarik tunai disana? Rusa??". Saya gak nyangka, ternyata efek tidak-mandi-dua-hari terhadap sistem saraf pusat bisa sedemikian merusaknya.

"yah terus gimana dong?" tanya Acil, lemes.
"apanya yang gimana?"
"duit gue tinggal 25ribu"

Gantian saya yang lemes dengernya.

Tapi ada hal lain yang lebih bikin lemes selain fakta bahwa kita berdua kekurangan duit: Hutan Baluran. Iya. Hutan Baluran. Saya pernah baca di blog orang kalau mendekati pintu masuk Taman Nasional Baluran, kita akan melewati deretan hutan Baluran yang masih termasuk area Taman Nasional Baluran. Waktu itu, jam nyaris menunjukkan pukul 07 malam. Bis Mila Jaya yang kita tumpangi mulai melintas di jalanan dimana kanan kirinya adalah hutan. Gak ada lampu penerang jalan, gak ada tanda-tanda kehidupan. Semua gelap gulita. Saya gak banyak bicara, begitu juga Acil. Saya yakin di dalam kepalanya pasti ada banyak pertanyaan. Bener aja. Gak berapa lama kemudian Acil mulai melontarkan pertanyaan.

"put kalo pintu masuknya di tengah-tengah hutan kaya gini, gimana?". Saya mencium aroma kepanikan dari nada bicara Acil. Saya menaikkan kedua pundak saya sebagai tanda kalau saya juga gak ngerti harus berbuat apa. Wajar sih panik karena  memang menurut info yang kita dapetin dari hasil surfing, dari pintu gapura selamat datang, jalanan yang harus ditempuh menuju pos penginapan sejauh 15km. Gak kebayang aja kalo mesti jalan kaki di tengah-tengah hutan kayak gitu. 

Tiba-tiba si ibu kondektur berteriak, "yak yang mau turun di Batangan, siap-siap!". Demi mendengar aba-aba si ibu kondektur, mata saya langsung tertuju ke luar jendela, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan di luar sana. Gak keliatan apa-apa. Jangan-jangan bener dugaan Acil kalo pintu gapura selamat datang di Taman Nasional Baluran berada di tengah-tengah hutan.

"put, serius? SERIUS ni?!" Acil menanyakan pertanyaan yang sama, kali ini dengan penekanan yang agak berbeda : lebih panik. "udah tenang aja", saya sok cool padahal mah mau mencret saking parnonya. Terdengar teriakan si ibu kondektur lagi, "yoooo batangan, kirii!". Dengan mantap saya dan Acil melangkah turun.

Begitu menjejakkan kaki, hal pertama yang kita lihat adalah gapura besar dengan tulisan di atasnya : Taman Nasional Baluran. Suasana sekeliling gelap gulita. Tiba-tiba muncul seorang perempuan yang minta diantar pulang. Saya dan Acil pandang-pandangan. Karena merasa kasihan, kita berdua memutuskan untuk mengantar perempuan ini pulang dulu ke rumahnya. Di rumahnya, kita disambut sama ibu si perempuan dan dua orang saudaranya. Baru aja kita mau pamit untuk melanjutkan perjalanan, ibunya si perempuan menawarkan kami untuk makan malam dengan menu steak daging, yang tanpa kita tau, sudah diberi obat tidur. Begitu terbangun, tangan dan kaki kita berdua dalam keadaan terikat!

Oh tunggu dulu. Itu kan cerita Rumah Dara.

Cerita kita gak semenakutkan itu kok :D
Karena ternyata pintu masuk Taman nasional Baluran gak berada di tengah hutan Baluran yang gelap gulita. Faktanya malah, pintu masuk Taman Nasional Baluran dekat dengan kantor polisi dan pintu masuk Desa Wisata Kebangsaan which is artinya Terang Benderang! Legaaaaaaaa!

Kita berdua langsung menghampiri loket masuk yang berada persis di sebelah gerbang. Hal pertama yang saya tanyakan adalah : boleh atau gak nya kita diriin tenda di dalam taman nasional. Ini penting banget karena berhubungan langsung dengan kondisi keuangan kita berdua yang cekak parah. Dan jawabannya adalah GAK BOLEH.

Wadezig. 

Petugas posko kemudian menyarankan kami untuk mencari homestay di dalam desa wisata kebangsaan, yang letaknya bersebelahan dengan pintu masuk Taman Nasional Baluran. 
"murah kok, paling 75ribu" sambung si petugas loket, seolah bisa menerawang isi dompet kita berdua. Iya, uang kita berdua kalau ditotalin gak lebih dari 140ribu. Gak bakalan cukup, belum untuk tiket masuk dan sewa motor untuk eksplor Baluran besok pagi, sementara itu gak ada tanda-tanda ATM di sekitar sini.

Saya dan Acil cuma bisa liat-liatan.


Gimana nasib kita berdua selanjutnya? Masih adakah kedodolan berikutnya??
tunggu cerita selanjutnya di part3 yha ^^



Saturday, March 14, 2015

Backpacker ke Baluran Part 1 : Calo nya yang kepinteran ataaaau kita nya yang...

Masih tentang Malang, masih bareng sama manusia setengah dodol, Acil, perjalanan berlanjut ke destinasi yang sebenarnya gak ada di dalam itinerary kita berdua : Taman Nasional Baluran. Iya, Taman Nasional Baluran memang gak ada di iten saya dan Acil ketika memutuskan untuk nge-trip ke Malang. Taman Nasional Baluran 'kan adanya di Banyuwangi, sekian ratus kilometer dari Malang. Tapi gak ngerti kenapa, ketika lagi sarapan di sebuah warung nasi di Malang, tiba-tiba saya dan Acil udah ber-high five sambil teriak "OKE DEAL! BALURAN!" . Iya. I know. Gak jelas banget tripnya ya? :D

Pulang dari Bromo, seturunnya dari elf yang membawa saya dan Acil dari Cemoro Lawang ke Probolinggo, kita berdua langsung bergegas masuk ke dalam Terminal Bayu Angga. Kita sama-sama belum pernah menginjakkan kaki di Banyuwangi. Dan dengan menenteng carier segede gaban, kita berdua sama-sama keliatan sebagai umpan empuk untuk para calo-calo bis disana.

Setengah grasa-grusu, saya dan Acil menghampiri satu bis jurusan Banyuwangi yang udah ngetem manis di pojokan terminal, Bis Mila Jaya.
"Banyuwangi ya pak?" Tanya saya sambil mengatur nafas yang udah senen kamis.
"Lewat Baluran?" tanya saya lagi.
"iya neng lewat"
Mendengar deru mesin bis yang sudah menyala-nyala, saya bertanya lagi dengan nada panik,
"udah mau jalan ya pak?"
Si Supir menjawab dengan mantap, "iya neng, 10 menit lagi!"

Sambil tergopoh-gopoh dengan carier di pundak, Saya dan Acil bagi tugas. Saya beli nasi bungkus dan Acil ke toilet. Bukan. Acil bukan mau ngebersihin toilet. Dia emang udah kebelet pipis dari tadi. Setelah saya berhasil dapet dua nasi bungkus dan Acil berhasil pipis di tempat yang semestinya, kita berdua buru-buru naik ke bis Mila Jaya tadi. Kita sengaja memilih duduk di kursi paling belakang karena ada space yang cukup lega untuk naro tas dan segala barang bawaan kita. 

Belum juga ini pantat mendarat manis di kursi bis, seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluhan dan memakai setelan berwarna abu-abu menghampiri kami, "langsung bayar ya mbak, 75rb satu orang" katanya tegas. Saya yang nyawanya masih berceceran di dalam mobil elf, tanpa pikir panjang langsung menyerahkan satu lembar uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan untuk ongkos kita berdua.

Saya sempat curiga sama si bapak ini, biasanya 'kan dimintain ongkos ketika bisnya mulai berjalan ya?
"ahh.. mungkin terobosan baru" pikir saya dalam hati.
Untungnya, dengan sisa-sisa kewarasan saya, saya masih sempat meminta karcis bis sebagai bukti bahwa kami sudah membayar ongkos perjalanan.
"Bentar neng", katanya sambil berjalan ke bagian depan bis. Gak berapa lama, dia datang lagi membawa dua lembar karcis bis sambil berkata, "hati-hati sama barang bawaannya neng".
"Tumbenan amat ini kondektur perhatian", batin saya

Pukul setengah tiga sore, bis mulai melaju indah, saya pun mulai merem-merem indah. Semuanya terasa indah sampai satu ketika saya melihat ada ibu-ibu berkemeja merah dengan tulisan Mila Jaya di kantong sebelah kanannya, mendatangi penumpang satu persatu untuk meminta ongkos. Merasa ada yang gak beres, saya langsung berbisik ke Acil yang duduk persis di sebelah saya,
"Cil.. cil, kayaknya kita kena tipu deh".
"Iya ya, kata mas Slamet 'kan ongkosnya gak mungkin lebih dari 60ribu" Acil menjawab sambil sibuk garuk-garuk kepala. Jangan heran, ini anak emang belum mandi sejak awal trip dua hari yang lalu. 

Begitu si ibu kondektur sampai di barisan kursi paling belakang, saya langsung menyerahkan dua lembar karcis yang tadi saya dapat di awal. "Bu", kata saya memulai percakapan. "Mau turun di Batangan ya bu, yang pintu masuk Taman Nasional Baluran itu". Si ibu mengangguk sambil tangannya sibuk merapikan lembaran demi lembaran uang rupiah yang sedari tadi dia genggam.

Lalu tiba-tiba Acil punya ide supaya saya menanyakan langsung ke si ibu kondektur berapa tarif bis sebenernya ke Banyuwangi. Saya pun setuju, yaah meskipun jawabannya nanti bisa amat beresiko mengganggu mood liburan, tapi paling gak kita jadi tau kebenarannya.


Dengan penuh keberanian, saya bertanya kepada si ibu kondektur. 
"Bu, biasanya ongkos ke Banyuwangi berapa ya bu?"
Si ibu kondektur menoleh ke saya. Dengan muka agak heran, dia malah balik bertanya berapa nominal yang saya bayar untuk sampai ke Banyuwangi. Saya pun menjawab sejujurnya.


Si ibu kaget. Beberapa penumpang yang sedari tadi menyimak percakapan antara saya dan si ibu kondektur juga ikutan kaget.
"Seorang 75rb??" si Ibu kondektur seolah gak percaya dengan apa yang baru saya katakan. 
"IYA BU, SEORANG 75RIBU" ulang saya, mantap.
Sambil melontarkan tatapan kasihan-deh-lo-ketipu, si ibu berkata "ongkosnya cuma 32rb per orang lho neng"
Begitu mendengar ternyata ongkosnya murah meriah, jelas kita berdua kaget setengah mateng.


"Sial.. untung banyak dia, dua kali lipet!" Acil mulai ngegerutu.
"ya udah Cil, doain aja semoga tu bapak cepet insaf", kata saya mencoba menenangkan suasana. Padahal kalau nanti saya ketemu lagi sama calo yang tadi.. bakalan saya suruh Acil untuk nyedot ubun-ubun itu orang. Biar tau rasa! 

Pas emosi udah agak reda, saya jadi kepikiran satu hal, ini calonya yang kepinteran ataaaaau.. kitanya yaaaaaaaaaang.... ah sudahlah.


Lalu..
Gimana kelanjutan nasib kita berdua selepas ini?
Gimana pula dengan nasib perekonomian kami setelah ketipu?
Bisakah kita berdua sampai dengan selamat di Taman Nasional Baluran?

Stay tuned trus untuk part berikutnya ya ^^




yang pingin bikin PACABI ( Paguyuban Anti Calo Bis Indonesia ),

Backpackeran Ke Bromo : Yeay! Acil Lulus SIM B!

Malem itu, saya lagi gelosoran di lantai kamar, saat Acil, transmigran dari Planet Namec, tiba-tiba aja bbm ke saya. "Ayo puutt, kemana kita?" tanyanya di dalam bbm. Saya agak kaget. Bukan apa, biasanya kalo ini anak mau nongol, suka didahului sama wangi kembang gitu. Belum sempat saya bales bbmnya, Acil udah memberondong saya dengan pertanyaan lain, "Semeru?? budget berapa?" 

Saya yang lagi males banget hiking, langsung mengkambing-hitamkan cuaca "Cuaca lagi jelek cil", keliling kota aja dah, kota apaaaa gitu". Acil lantas menyodorkan satu nama kota : Malang. Bicara tentang Malang, maka destinasi yang paling terkenal adalah Bromo. Ngebayangin lautan pasir dan kemungkinan saya bisa nyaru-nyaru dikit kayak Dian Sastro di film Pasir Berbisik membuat saya langsung mengiyakan ajakan Acil.

Maka tiga hari kemudian berangkatlah kita ke Bromo.

Ada satu rumus yang terkenal di dunia travelling. Rumusnya adalah.. semakin banyak orang yang ikut maka semakin murah biaya ngetripnya. Ini karena peserta patungannya menjadi lebih banyak untuk hal-hal yang bisa di share-cost, contohnya adalah sewa homestay atau mobil. Dan ketika memutuskan untuk ngetrip bareng Acil ke Bromo, kekhawatiran yang paling mendasar adalah masalah sewa jeep. Berdasarkan informasi yang saya dapet dari blog-blog orang, untuk bisa meng-eksplor Bromo, maka kita harus sewa jeep dengan tarif yang cukup bikin dompet mules apabila cuma dibagi berdua.

Benar saja, begitu sampai di loket masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, banyak mamang-mamang bertopi kupluk dan keredongan sarung menawarkan jasa penyewaan jeep.
"murah neng.. 450ribu buat liat sunrise sama ke kawah Bromo, kalo nambah ke Pasir Berbisik cuma 550 ribu, sekalian ke bukit teletubbies jadi 650 ribu" tawarnya panjang lebar. Harga ini jauh lebih mahal dibandingkan harga yang saya tau dari mbah gugel. 

Saya ngelirik Acil. 650ribu?? dibagi dua?? satu orang 325 ribu untuk eksplor Bromo? ya ampun.. ini mah seharga 4 hari eksplor Jogjakarta! Saya dan Acil yang sama-sama menganut prinsip ekonomi dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, jelas merasa perlu berfikir ribuan kali sebelum memutuskan untuk menyewa jeep. "Gini aja deh mas, nanti kalo kita tertarik, kita balik lagi ke posko ini ya" tolak saya, halus. Setelah berhasil lari dari kejaran mamang-mamang bersarung, saya dan Acil terdampar di warung gorengan yang berada gak jauh di belakang loket masuk. Disitulah kami ketemu sama Mas Slamet. 

Setelah beberapa lama ngobrol bareng mas Slamet, tiba-tiba dia menawarkan sesuatu, "ataaaau.. mbak sama masnya mau naik motor?". Saya berusaha meyakinkan apa yang baru aja saya dengar, "Naik motor?? semacam ojeg gitu?". "Iya mbak, ojeg" jawab mas Slamet. "150rb, dianter ke 4 tempat : liat sunrise di Pananjakan, Kawah Bromo, Pasir Berbisik dan Bukit Teletubbies.. Sepuasnya!" jelas Mas Slamet mantap. Saya ngelirik Acil "Gimana cil?"

Belum sempat Acil menjawab, mas Slamet menawarkan opsi lain. "atau mau bawa motor sendiri??"
"NAKH ITHUU.." Acil menjawab penuh semangat sambil mulutnya monyong-monyong ngunyah gorengan tempe menjes. "gimana kalo KITA boncengan aja?!" tanya Acil sambil ngelirik saya. Merasa kalo nyawa saya sedang dipertaruhkan disini, saya bertanya cemas ke Acil, "Lo.. yakin bisa?".
Acil malah nanya balik ke Mas Slamet. "Jalanannya BIASA aja kan mas?"
"biasa aja kok mas, sampeyan udah biasa bawa motor kan?". Acil menggangguk jumawa.

Besoknya, pagi-pagi buta, Mas Slamet udah nganterin motor. Motornya baru pula. Sungguh malang nasib motor ini. Dia gak tau kalo bakal dikendarain sama Acil, remaja tanggung yang puber atau gaknya aja belum jelas. Acil mulai menstarter motor. "ayok put" katanya memberi aba-aba. Saya nelen ludah. Acil pasang muka serius, "Lo harus yakin put" katanya. "Lo. Harus. Yakin. Kalo. GUE. BISA". Setelah berdoa macem-macem, saya naik dan motor pun beranjak turun ke lautan pasir

10 menit kemudian,

Tiba-tiba ban motor slip di atas pasir. Stang motor bergerak brutal ke arah kanan kemudian ke kiri. Begitu seterusnya.  "PUT, PUT, SERIUS PUT.. LICIN INI" Acil jejeritan horor. Saya nahan napas di jok belakang

20 menit kemudian,

"PUT, PUT, INI KENAPA STANGNYA KE KANAN?? GUE KAN MAU BELOK KE KIRI!"
Saya stress berat, "MANA GUE TAU, CUMI!" 

Setelah melewati beberapa kali adegan hampir-jatuh-gabruk, toh akhirnya saya dan Acil berhasil eksplor Bromo di empat titik mulai dari Pananjakan, Kawah Bromo, Pasir Berbisik sampai Bukit Teletubbies, dari jam 4 pagi sampai jam 12 siang. Puaaaaasss!

Sesampainya di homestay dengan selamat, setengah tertawa, saya berkata ke Acil,
"Selamet cil, Lo lulus sim C!"
"ENAK AJA!" Acil sewot, "Gue lulus Sim B : Sim BROMO!"

Saya ketawa ngakak.

dan ini pelengkap cerita diatas :)

Arah pulang dari Pananjakan
Kelebihan naik motor ketimbang jeep adalaaaah..
bisa berhenti seenak udelnya untuk foto-foto  :D
pertanyaannya : siapa yang lupa matiin kompor?
Mamang Acil :D
Iya. Kita mau nyaingin Teletubbies dengan membuat grup baru : Teletubless
Keliatan cool ( Padahal aslinya kaki pada gemeteran )
Hampir-jatuh-gabruk ternyata memiliki dampak buruk bagi kesehatan jiwa 

Eniwei, trip ini belum selesai. Kita masih harus menempuh ratusan kilometer menuju destinasi selanjutnya yang pastinya gak kalah heboh dan gak kalah bodoh dari yang ini. Haha.

Stay tuned terus yha :)



yang bahagia selalu,