Saturday, August 9, 2014

Backpacker Jogjakarta Part 6 : Berburu "Cahaya Surga" di Goa Jomblang

Selamat dataaaang di Backpacker Yogyakarta itinerary hari keenam!

Setelah sebelumnya sukses menghitamkan kulit di garis pantai kabupaten Gunung Kidul di hari kelima kemarin ( cerita lengkapnya disini ), di hari keenam yang sekaligus menjadi hari terakhir saya menjelajah Jogjakarta dan sekitarnya, saya akan mencoba caving alias menyusuri gua vertikal untuk pertama kalinya di Goa Jomblang!

Goa Jomblang yang terletak di desa Pacarejo Kabupaten Semanu, Gunung Kidul ini merupakan gua vertikal dengan hutan purba di dasarnya. Goa ini terbentuk akibat proses geologi dimana permukaan tanah amblas kebawah beserta vegetasinya yang terjadi ribuan tahun lalu. Proses ini membentuk lubang seperti sumur yang dalam bahasa jawa terkenal dengan sebutan Luweng. 


Luweng Jomblang
Untuk bisa memasuki Luweng Jomblang ini, diperlukan teknik SRT ( Single Rope Technique ) dimana caver akan menuruni Luweng dengan menggunakan seutas tali yang dilengkapi berbagai macam carabiner. Para pengunjung umumnya menggunakan jasa yang disediakan di Jomblang Resort dengan harga berkisar antara 400-600 ribu / orang. Biaya yang cukup mahal ya?

Beruntung sekali.. tahun lalu ketika saya mendaki gunung Argopuro, saya berkenalan dengan sekelompok mahasiswa pecinta alam dari Akademi Teknik Kulit Yogyakarta ( Makupella ) yang pada kesempatan kali ini bersedia menemani saya untuk turun ke Luweng Jomblang. Hal ini menjadi keuntungan tersendiri karena pihak pengelola Goa Jomblang tidak mengenakan biaya apapun pada kelompok pecinta alam yang ingin latihan caving disini. Alhamdulillah.. rejeki backpacker ^^

Sehari sebelumnya, saya dibekali dulu dengan bagaimana mempraktikkan teknik SRT. Kursus singkat ini berlangsung di kampus Akademi Teknik Kulit Yogyakarta. Kursus singkat ini berisi perkenalan alat-alat oleh Mbak Ika dan Mas Tomi sementara cara ascending dan descending dipimpin oleh Mas Arif dan mas Bahrudin. Latihan yang berlangsung selama kurang lebih 3 jam ini menggunakan tiang setinggi 3 meteran yang ada disebelah basecamp Makupella sebagai media simulasi. Rasa lelah yang tersisa dari susur pantai siang tadi menguap begitu saja digantikan rasa excited mempelajari bagaimana melepas croll dengan benar.

Hop..hop 
Setelah sesi latihan teknik SRT berakhir maka beberapa dari kami packing dan bersiap-siap untuk berangkat. Tepat jam 11 malam, saya, mas Arif, mas Tommi, mbak Lia dan mas Beta meluncur ke arah Wonosari dengan sepeda motor untuk seterusnya menuju ke Goa Jomblang.

Jalan raya yang menanjak dan berliku ke arah Gunung Kidul ini cenderung sepi saat kami melintas., mungkin karena udah larut malam juga kali ya. Di pertengahan jalan, saya sempat terpesona dengan keindahan Bukit Bintang saat motor yang saya tumpangi melewati kawasan yang dijadikan tempat nongkrong muda-mudi Jogjakarta di penghujung minggu itu.

"ndak lama kog mbak.. paling 1 jam setengah" jelas mas Arif dengan logat jawanya yang kental ketika saya tanya berapa lama waktu tempuh dari kampus ATK Jogjakarta ke Goa Jomblang menggunakan sepeda motor.

Memasuki jalanan kecil menuju Goa Jomblang di desa Pacarejo, cahaya motor kami menjadi satu-satunya cahaya di tengah kegelapan jalanan yang diapit pepohonan jati. Kontur jalan yang rusak parah menghilangkan rasa ngantuk saya dalam sekejap, sementara udara mulai terasa dingin. Saya tidak ingat pukul berapa kami, pada akhirnya, bisa beristirahat di dalam tenda yang dibangun di area camping ground tidak jauh dari mulut Goa Jomblang.

dome sweet home ^^
Pagi harinya, setelah memasak sarapan bareng mbak Lia, saya sempat berkeliling untuk melihat mulut goanya, orientasi medan dulu ceritanya. Begitu melihat lebarnya mulut Goa Jomblang ini, segala senyawa kimia mulai dari adrenalin, endorfin, oksitosin dan serotonin mengalir dalam darah. Efeknya adalah perasaan yang campur aduk antara takut, bahagia dan excited!

Yak itu dia.. yang bikin perasaan campur aduk. (-_-')
*pic taken from kaskus.. maap yak soalnya kemaren foto saya
 gak ada yang sejelas ini mulut guanya*
Mengingat saya adalah pemula, maka jalur yang kami pakai adalah jalur VIP yang ketinggiannya berkisar antara 20-30 meteran. Berbeda dengan jalur langsung dari mulut Goa Jomblang yang berada di level 60 meteran *ngilu bayangin SRT-an setinggi itu*

Saya pikir jalur VIP itu enak-enak gimaaanaaa gitu yhaaaa.. secara namanya aja VIP. Ternyata jalur yang harus dilalui sebelum lintasan dipasang beneran curam. Sebagai gambaran, turunan terjal ini mirip Bapa Tere di jalur Linggarjati Gunung Ciremai, cuma panjangnya tiga kali lipat dari Bapa Tere. Kebayang kan yak.. secara sampe harus turun pake webbing saking curamnya. Pemanasan yang cantik (=_=)

Sebelum kami turun, mas Arif rigging ( membuat lintasan ) dengan main anchor pada batang pohon di sisi kiri jalur VIP. Saya bengong aja disitu antara takjub dan ngeri ngeliat mas arif yang rigging sambil gelantungan gitu di pohon, Eyuhh.. kecil kecil cabe rawit dah tu anak.

ngilu ngeliatnya
menunggu Mas Arif Rigging *jantung deg2 nyes*
dasar perempuan yhaa.. sempet aja minta foto sambil nunggu rigging kelar :D
Coverall udah dipake, set SRT udah dipasang, body checking juga udah, setelah mas Arif dan mbak Lia descending, berikutnya adalah giliran sayaaaaaa *nelen ludah*. Seperti biasa, disorientasi saya dalam membedakan kanan-kiri cukup membuat saya bingung mengawinkan antara descender dan charmantel dengan baik dan benar, beruntung ada mas Tommi yang mengoreksi kesalahan saya. Segera setelah descender terpasang, saya meluncur turun perlahan dari atas. 

rasanya.. gado-gado!
Sesampainya dibawah mulut gua menganga lebar. Ada rasa takjub menyelimuti hati saya yang paling dalam, betapa di tengah alam ini, kita, manusia, yang katanya mahluk yang sempurna, ternyata kecil dan gak berarti apa-apa.
Mulut gua dicapture dari dalam ^^
Memasuki mulut goa menuju Luweng Grubug, saya baru mengerti kenapa saya harus memakai coverall -baju ala caver- yang warnanya lebih mirip baju dinas kebersihan ini, ternyata jalanan menuju Luweng Grubugnya memang berlumpur, meski sudah dibantu dengan batuan yang disusun setapak oleh pengelola, tetap harus berhati-hati karena kondisi batuan yang juga licin. 

Sinar headlamp mulai memendarkan cahaya di tengah gelapnya goa, perlahan tapi pasti, kami berempat berjalan menuju Luweng Grubug. Udara terasa sejuk dan lembab sementara sesekali saya tergelincir jatuh dari bebatuan dan masuk kedalam tanah berlumpur. Disini tagline deterjen R**nso kedengeran sangat pas : gak ada noda ya gak belajar. Haha. 

Beberapa menit kami menyusuri goa, dari kejauhan tampak "cahaya surga" yang terkenal dengan julukan Line King. Demi melihat kilauan cahaya matahari yang menyeruak masuk dari Luweng Grubug tersebut, kerongkongan saya tercekat, menahan nafas dan terpana. Saya belum pernah melihat cahaya seindah itu!. Bergegas saya percepat langkah, tidak saya perdulikan lagi lumpur yang masuk ke sela-sela kaos kaki, saya hanya ingin segera melihat sepotong keindahan yang Alloh titipkan di tempat ini.

Allohuakbar..  
Memasuki ruangan dibawah Luweng Grubug, seonggok batu besar yang terbentuk alami dari endapan calcium carbonat selama ratusan tahun itu langsung mencuri perhatian. Batu besar berwarna putih kekuningan ini seolah menjadi panggung bagi setiap pengunjung yang ingin berdiri di bawah pancaran Line King.

di panggung cahaya
Line King yang ngetop itu..
Di bawah Luweng Grubug ini terdapat aliran sungai bawah tanah yang cukup deras, Kalisuci namanya. Aliran sungai bawah tanah memang khas di daerah pegunungan Karst. Saya sempet dijelasin secara singkat mekanisme timbulnya sungai bawah tanah di area Karst ini oleh Mas Arif ini, intinya karena daerah Karst adalah daerah yang impermeable, sehingga air hujan bisa masuk kedalam batuan, membentuk rekahan yang lebar, saling menyatu kemudian jadilah aliran sungai.

kenaliiinnn... Ini dia yang namanya mas Arif.
kecil-kecil Cabe Rawit!
Waktu menunjukkan hampir jam 2 siang saat kami menyadari cahaya Line King mulai padam, itu artinya saatnya bagi kami untuk beranjak pulang. Pulang disini berarti harus ascending sekian puluh meter. Bagi saya -entah bagi caver yang sudah ahli- ascending adalah kegiatan yang menguras tenaga. Urat di kaki dan tangan keluar semua, belum lagi lecet-lecet akibat gesekan antara tangan dan carmantel. No pain no game lah intinya

Mbak Lia giliran pertama

saya berikutnya 

Setelah keempat personel naik semua, set SRT udah di cleaning dari lintasan, final checking udah dilakukan, semua barang dan tenda udah di packing, saatnya kami pulang. *gak pake mandi hihi*

dekilnya maksimal
*dalam balutan coverall
Sinar matahari senja yang kemerahan menerobos dari pepohonan jati yang tumbuh di kanan kiri jalan menemani perjalanan pulang kami. Sesaat setelah motor dinyalakan, saya menengok ke belakang untuk sekali lagi melihat mulut Goa jomblang yang menganga dengan lebarnya. Benar-benar tempat yang spektakuler. "sungguh saya semakin mencintai negara ini" bisik saya pelan di tengah deru motor yang mulai melaju membawa kami pulang ke Jogjakarta.

Dengan ini... berakhir pula 6 hari perjalanan saya di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Menyenangkan sekaliiii.. Ada banyak pelajaran, kenangan dan sahabat baru yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidup saya setelah ini. I owe you so much fellas ^^

*ps
tulisan ini didedikasikan untuk semuaaaaaa anggota Makupella
terutama Mas-mas yang keren2 : Mas arif, Mastom, Mas Beta dan Mas Bahrud, dan mbak-mbak yang cantik tapi luwes SRT-an : Mbak Ika dan Mbak Lia




4 comments: