Tuesday, September 23, 2014

Sepenggal Hati Yang Tertinggal di Desa Purwodadi


Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah, saya merasa begitu dekat secara emosional dengan satu tempat yang saya kunjungi. Rasanya seperti baru kemarin saya masih bertanya-tanya akan melangkah kemana kaki saya di daerah Kabupaten Gunung Kidul ini, dan sekarang saya menemukan diri saya menangis di lorong stasiun kereta api karena ternyata saya sudah merindukan tempat itu bahkan sebelum saya menaiki kereta api yang akan membawa saya pulang ke Jakarta.


Padahal hanya sebuah desa. Desa yang saya berani jamin akan sulit untuk sekedar menemukan sikat gigi yang ujungnya bulat disana. Desa yang bahkan ketika musim panas tiba, rumput pun enggan tumbuh disana. Tapi desa itu memiliki sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang yang tinggal di kota besar. Sesuatu itu adalah rasa memiliki.

Iya. Rasa memiliki. Rasa yang mampu membuat kita melakukan hal-hal hebat meskipun tidak ada nominal yang bisa kita harapkan dari sana.

Saya masih ingat dengan jelas malam itu saya berkesempatan menyaksikan pagelaran tari topeng di salah satu dusun di desa ini. Tarian yang telah mati suri selama tiga puluh tahun karena alasan klise yang menyayat hati : tidak ada biaya. Iya. Set gamelan sebagai sarana tari topeng satu-satunya telah dijual puluhan tahun lalu oleh si empunya karena kebutuhan hidup. Kini, mereka sama-sama berjuang mengidupkan kembali tari ini agar kelak anak cucu mereka tidak buta dengan budayanya sendiri.

Di belakang panggung pagelaran malam itu, saya tenggelam dalam pemandangan yang mengharukan, bagaimana seorang bapak merias wajahnya sesuai lakon yang ia perankan dengan bedak murahan sambil sesekali tertawa bercanda, orang-orang yang bangga dengan aksesoris lakon yang mereka pakai kendati saya tau itu aksesoris sederhana yang mereka buat sendiri dari kertas dan kayu, sementara dari luar, suara set gamelan sewaan mulai berdenting memainkan alunan khas musik daerah jawa.

Iya. Malam itu mereka berjuang melawan keterbatasan materi demi langgengnya 'seni budaya' ; dua buah kata yang kadang tampak usang di mata sebagian orang namun tidak bagi mereka, sementara di kota besar ratusan remaja justru rela menghabiskan ratusan ribu rupiah demi selembar tiket konser Justin Bieber. Sebuah kenyataan pahit yang nyaris membuat saya menangis di tempat.

Mereka bersinar 
Malam itu, saya bukan hanya mendapatkan suguhan tari topeng yang luar biasa, saya belajar sekali lagi bahwa uang tidak selalu memegang peranan penting, tapi hati. Hati lah yang pada akhirnya menentukan seberapa penting peranan yang kamu mainkan.
Dan hati ini, sudah saya tinggalkan sepenggal bagian disana, di Desa Purwodadi, untuk belajar banyak hal luar biasa lainnya, dan suatu saat nanti, saya akan datang kesana lagi untuk mengambilnya.


*ditulis di dalam kereta Senja Utama, 230914

Regards,

No comments:

Post a Comment